Inilah sebenarnya yang ingin kuketahui.
Bahkan, lebih ingin kuketahui dari pada rahasia yang paling rahasia di dunia
ini.
Mimpi dan cita-cita, entahlah apa ada
perbedaan di antara 2 kata bermakna ambigu itu?
Yang kutahu, semua itu hanyalah sebuah angan-angan
di antara angan-angan. Yang berarti semuanya hanyalah khayalan belaka yang
hanya mempunyai 0,1% untuk menjadi nyata. Ya, hanya 0,1%. Karena, aku kembali
takut untuk mengetahui itu hanyalah mimpi dan cita-cita belaka.
Arakan mega di atas langit yang diterangi oleh cahaya kemerah kuningan
membayangkan bayang-bayang tubuh ini di bumi. Bayangan yang semakin memanjang
membuat gerakan bayangan itu semakin dipercepat. Suara ketukan sepatu tak
begitu terdengar menggema ditelinga. Yang terdengar hanyalah nyanyian gagak
yang menghiasi sang langit jingga.
“Gawat, sudah jam 6 sore.” Lantunan kalimat rutukan diucapkan sebagai
tanda kekhawatiran yang mendalam atas situasi yang tengah terjadi di antara
suasana ini.
Memang, tak seharusnya mulut ini mengumpat. Toh, diri ini sadar kalau hal
yang baru dilakukan oleh sang mulut akan terasa sia-sia saja. Akan jadi
kegemparan saat tubuh seorang gadis tiba-tiba saja berpindah tempat dalam
sekejap karena rutukannya.
Langkah kaki ini dipercepat dan diperlebar. Itu memang memungkinkan untuk
lebih cepat sampai di tempat tujuan. Setidaknya dengan kecepatan seperti ini
diriku yakin akan dapat sampai sekitar 5 menit dari biasanya. Walaupun, harus
mematikan rasa pegal di kaki yang tak terlalu panjang ini.
Hati terasa lega ketika tubuh telah duduk di bangku kendaraan yang sedari
tadi menjadi tujuan. Well, bisa dikatakan ini hanya setengah dari tujuanku.
Merasakan padatnya isi dari kendaraan ini yang semakin membuat letih sudah
menjadi rutinitas dalam kehidupanku selama 16 tahun ke belakang. Satu-satunya
kegiatan yang harus dilakukan ialah hanya dapat duduk dan menunggu atau bisa
saja membaca buku. Ok, mungkin dari pilihan terakhir itu agak sedikit tak
mungkin karena diri ini tak begitu suka dengan buku, oh ya, kecuali manga tentunya.
Onyx melirik ke kanan kiri, mencari sedikit pemandangan yang mungkin akan
membuatnya sedikit lebih bisa menunggu di sela ruang besi berjalan dengan
kekuatan super yang padat ini. Sedikit kecewa karena yang tertangkap di
sepasang onyx ini hanyalah orang-orang membosankan dengan pakaian kantor dan
juga sedikit orang-orang dengan seifuku di sekitarnya. Namun, hal itupun tak
jua membuat mata ini merasa tertarik.
Sepertinya ini pilihan terakhir untuk sedikit mengusir perasaan bosan
yang tengah bercampur dengan letih di tubuh. Mendengarkan lagu cukup bisa.
Mulutku sedikit mengulas senyum menyadari ada hal lain yang terlupakan di otak.
Earphone berwana baby pink telah terselit di lubang telinga. Dendungan lagu
yang terdengar dari alat itu sangat membuat hatiku tenang, untuk 20 menit ke
depan.
“Tadaima.” Sapaan ‘aku pulang’ yang menjadi rutinitas kuucapkan tanpa ba
bi bu atau yang lainnya.
“Okaeri, Aki-chan.” Yeah, balasan itulah yang selalu jadi kata lanjutan
dari mulutku.
Dengan langkah tenang mulai menuju lantai 2 rumah dengan model modern
ini. Sedikit merenggangkan badan, aku meletakan tas sekolah di kursi depan meja
belajar. Sesegera mungkin, handuk putih bercorak bunga berwarna putih pula
telah tersambar dan tersampir di bahu kanan. Kenop pintu tergeser. Kemudian,
dengan harapan agar tubuh merasa rileks diriku melakukan kegiatan berendam.
“Aki-chan, cepat turun!”
“Hai.”
Baru saja waktu berjalan 15 menit, seseorang yang kuyakini orang yang
telah melahirkan ku berteriak dari bawah. Bergegas keluar dari bak mandi dan
menyambar handuk yang tergelantung di gantungan handuk.
“Tou-san belum pulang?” Sadar masih ada seorang lagi yang belum ada di
ruang makan ini.
“Belum, katanya hari ini ia lembur.” Wanita berumur 35 tahun itu menjawab
sambil terus berjalan menuju dapur mengambil lauk pauk yang tadi ia masak.
“Oh.” Aku hanya bisa ber ‘Oh ‘ ria.
“Bagaimana dengan sekolahmu, Aki-chan?” Setelah meletakan semangkuk kari
di meja makan, Okaa-san ku bertanya perihal sekolahku hari ini.
“Hn, seperti biasa. Tidak ada yang spesial sepertinya. Ittadakimasu!”
Mulai menyumpit nasi yang sedikit lembek. Khas nasi Jepang.
“Sou...” Okaasan sedikit kecewa mendengarkan jawaban yang keluar dari
mulutku. Sepertinya ia mengharapkan agar aku menceritakan sesuatu untuk obrolan
di meja makan yang biasanya selalu diiringi dengan keheningan.
Ponsel flip berwarna putih gading dengan
hiasan berupa stiker-stiker lucu dan gantungan berbentuk kelinci kini
bertengger tenang di meja belajar. Menemaniku yang tengah mengerjakan beberapa
tugas mata pelajaran Bahasa Jepang.
Mataku sedikit memincing
mengalihkan pandangan dari aksara-aksara kanji yang sangat rumit. Berharap ada
sebuah gerakan mendadak ketika kutolehkan pandangan. Haha... Berharap, bodohnya
diriku!
Kembali. Tinggal sedikit,
tugasku akan terselesaikan. Humm... 5 Menit lagi, targetku berusaha
menyelesaikan tugas ini.
PIIP PIIP PIIP
Bingo! Akhirnya yang
ditunggu-tunggu datang juga. Sebuah e-mail masuk di saat tugas ini selesai.
Sedikit mengulum senyum, ponsel flip yang menurutku imut kubuka dengan tak
sabaran. Ingin segera tahu siapa yang pertama kali membuatku mengulum senyum di
malam ini.
From :
Sasanae-chan@hotmail.co.jp
Subject :
Konbanwa!
Aki-chan, besok karaokean yuk?-/.\-
“Hn... Dari Sanae.” Sedikit
mengeluh rupanya. Yeah, sedikit. Hanya sedikit. Mana e-mail nya tidak terlalu
penting lagi.
Subject :
Konbanwa!
Hn, tidak janji. :P
“Yosh,
sudah jam 12 malam. Waktunya tidur.”
Sebelum menutup mata aku berucap
sendiri, “oyasumi, Aki-chan. Jaa, matta ashita ne...”
Namun, suara e-mail masuk
kembali terngiang di telingaaku. Haah, pasti si Sanae lagi. Dengan malas, aku
menggerakan tanganku menyentuh ponsel yang terletak di samping bantal bersarung
putih motif bunga sakura merah.
From :
Hagane231@hotmail.com
Subject :
Oyasumi!
Mataku memincing, takut salah
membaca. Setelah berulang kali kubaca e-mail tersebut, senyumku mengembang.
Terbangun dan duduk sambil mengetikan balasan ‘Oyasumi’ pada orang itu. Dia dan
orang itu. Mereka sama.
Kembali memejam mata sambil
sesekali senyum yang tak bisa kucegah terus terukir di bibirku. Semoga malam
ini aku bisa mimpi indah.
.
.
.
“Aki-chan, ayo kita karaoke!” oh
Kami-sama, suara Sanae mengagetkanku yang tengah berusaha mengumpulkan
sisa-sisa nyawa setelah pelajaran Bahasa Inggris tadi, jam terakhir yang
membosankan, mengantukan dan pelajaran yang paling kubenci.
Menguap pelan, aku berbalik
menatap gadis yang sebaya dengan diriku itu. Sanae tersenyum menyipitkan
matanya yang memang tampak sipit membuatnya menyembunyikan bola mata cokelat
jernihnya yang kuakui cukup indah.
“Bagaimana ya? Aku malas, sih.
Hehe...”
“Yah, kamu bagaimana si Aki.
Semalam kau sudah mengiyakan, kan?”
Ia merengut kecewa, lalu aku
tersenyum mengejek. “Bukankah aku tidak janji?”
“Tapi kan, kau sudah memberiku
harapan tadi malam.”
DEG
Harapan? Aku benci kata itu,
lebih tepatnya aku membenci orang yang berusaha memberikan harapan kepada orang
lainl. Ngomong-ngomong, melanjutkan pembicaraan ku tadi berarti aku membenci
diriku dong?
“Bercanda, kok. Hehe...” tawaku
menyusul.
Tas selempeng yang tergantung di
pinggir meja kuraih dan menentengnya dengan sebelah tangan. “Nanti sekalian aku
mau lihat-lihat toko gelang yang baru buka hari ini, ok Sa-chan?”
Sanae tampak senang, senyumnya
kembali mengembang. Sahabatku yang satu ini memang manja. Permintaannya harus
dituruti setiap saat. Aku memakluminya. Dia putri wali kota sih, satu-satunya
pula.
“Yatta! Ok, Aki. Nanti kutraktir
yakisoba, hehe.” Sanae menggandeng tanganku, senyum lembut tergambar di
wajahku. Kalau seperti ini, dia seperti adik ku saja.
“Hai, hai, hai~”
.
.
.
“Huwaaa~ tadi seru sekali, Aki.
Aku tak menyangka kau akan menyanyi sebagus tadi. Nee, bagaimana kalau kau jadi
idol saja? Kupikir kau pasti bisa. Suaramu lumayan bagus juga, kau juga manis,”
puji Sanae saat kami baru keluar tempat karaoke yang tadi kami kunjungi. Sedikit
tersipu, aku kembali teringat sesuatu.
Flash Back
“Idol?”
“Ya.
Kita akan membuat band, aku jadi drummernya. Lalu, Aki jadi vacalis dan bassis,
Ekita jadi vocalis dan gitaris dan yang terakhir Shouta jadi gitaris leadernya?
Bagaimana, apa Aki mau?”
“Y-ya,
mungkin boleh juga, Hagane-senpai. Hehe...”
“Akinari
tahu, cita-citaku ingin jadi idol loh. Aku harap, Aki mau bersama-sama
membantuku mencapai harapan dan cita-citaku.”
“Tentu,
harapan Hagane-senpai juga harapanku juga kan?”
Andai saat itu semuanya berjalan
lancar, pasti aku tidak akan mengetahui kebusukan dan keburukan dari harapan
ataupun cita-cita. Kau tahu, mimpi itu semu.
“...Ki... Aki... Akinari
Shiroi?”
“E..Eh... Iya?” keget. Dasar,
aku melamunkan hal tidak penting seperti itu.
“Kamu kenapa, sih? Apa kau
sakit?” tanya Sanae tampak khawatir kepadaku. Akupun menggeleng dan kembali
tersenyum
“Tidak, aku baik-baik saja. Oh,
ya katanya kau mau mentraktirku yakisoba?” seruku berusaha mengalihkan
perhatiannya. Setahuku, Sanae memang gampang dialihkan perhatiannya. Walau kami
baru mengenal satu sama lain sejak semester kemarin, tepatnya sekitar tiga
bulan yang lalu.
“Benar juga. Ok, ayo Aki! Habis
itu kita ke toko gelang yang baru buka itu.”
“Hm.”
.
.
.
Sambil menunggu pesanan kami,
aku mengutak-atik ponselku. Tadi pagi, Ayah memberikanku smartphone yang baru
diproduksi di perusahaan Ayah. Ayah bekerja sebagai menejer di Aizawa Financial
Corp.
“Ponselmu baru ya, Aki?” tanya
gadis bersurai cokelat panjang yang dikuncir kuda tersebut.
“Hm, Otou-san memberiku tadi
pagi. Katanya baru akan dipasarkan di seluruh Jepang hari ini,” jawabku santai.
“Waaah~ benarkah? Ini lebih
manis dari pada ponselku,” puji Sanae sekali lagi.
“Haha...” tawaku entah untuk
apa. Mungkin, untuk menanggapi pujiannya.
Seorang pelayan membawa sebuah
nampan yang lumayan besar menuju meja kami. Senyum ramahnya memang tak pernah
luntur, membuat pelanggan merasa dihormati di sini.
“Omataseshimashita~”
Wanita berusia sekitar dua puluh
tujuh tahun itu menaruh pesanan kami di meja dengan hati-hati. Ia tidak ingin
mengecewakan pelanggan, anggapku.
“Arigatou~” seru Sanae dan aku
hanya menyunggingkan senyuman terimakasih.
Sambil menikmati yakisoba, Sanae
berceloteh panjang lebar tentang banyak hal. Dan kau tahu, dia memang
berceloteh mengenai banyak hal, namun yang ia celotehkan hanya pria-pria yang
menurutnya tampan yang dilihatnya di beberapa kesempatan. Aku hanya menanggapi
ceritanya dengan bertanya balik seperti, “apa kau berkenalan dengannya?” atau,
“apa yang kau suka darinya?” Yeah seperti itu kira-kiranya, tak mencoba untuk
turut berbagi cerita mengenai laki-laki yang membuatku menarik. Kecuali saat
dia tiba-tiba bertanya, “oh ya, ngomong-ngomong bagaimana hubunganmu dengan Kou
Hagane-senpai?”
DEG
Baru saja aku berusaha
melupakannya, setidaknya aku sudah berusaha, walau aku sungguh masih terpikat
oleh orang itu.
“Kami putus,” lalu kulihat Sanae
memudarkan senyum jahilnya saat aku mengucapkan itu.
Mata cokelatnya mengerjap
beberapa kali, juga bibirnya yang sedari tadi membuka lalu mengatup lagi
layaknya orang yang hendak berbicara namun tiba-tiba terserang gagap.
“Tu-tunggu!” ia masih berpikir,
mengumpulkan nyawanya mungkin dari kekagetannya tadi.
“Kau tidak perlu berlebihan
begitu, Sanae-chan! Haha, kau lucu sekali seperti orang bodoh. Haha...” tawaku
berusaha mengembalikan suasana yang sempat tegang.
“K-kau tidak apa-apa?” ia
memastikan.
“Apa kau lihat sesuatu yang aneh
pada kelopak mataku?” ia menggeleng. Mata panda untungnya tidak tinggal di
kelopak mataku dalam waktu yang lama. Terimakasih untukMu, Kami-sama.
“M-maksudku, kenapa kau tidak
bercerita padaku? Aku kan sahabatmu,” Sanae kembali cemberut.
“Kupikir, aku tidak ingin
mengumumkan kabar yang menurutku lumayan menyebalkan untuk sahabatku. Karena,
aku tahu Sanae-chan tidak suka berita menyebalkan. Haha...” berusaha untuk
tenang dengan mengeluarkan candaan.
“Tapi kan. Uughh...”
“Hai, hai. Aku minta maaf,
Sanae-chan,” aku mengalah akhirnya, karena cukup merepotkan mendapati Sanae
Kinoshita bila tengah merajuk atau ngambek.
“Baiklah, akan kumaafkan. Tapi,
kapan kalian...”
Terlihat ragu dia melanjutkan
pertanyaannya, akupun menghela napas pelan, “putus?” ia mengangguk, “hari Sabtu
tiga hari yang lalu. Ternyata dia hanya menganggapku sebagai adik. Tapi, tenang
saja kami tidak bertengkar kok. Dia tetap mengirimiku e-mail setiap malam,”
lanjutku. Sanae tampak sedikit tersentak.
“Adik? Dasar si Hagane bodoh
itu! Kalau ketemu nanti, aku akan memukulnya untukmu, Aki. Kau tenang saja.”
“Terimakasih, tapi kau tidak
perlu melakukannya Sanae-chan. Kami sepakat untuk berteman seperti biasa,” aku
sungguh bersyukur pada Kami-sama, karena diberikan sahabat seperti Sanae. Dia
sahabat yang selalu ada untukku.
“Benarkah?” aku mengangguk.
“Apa kau sudah selesai makan?”
tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan menyebalkan ini.
Ia mengangguk tersenyum, lagi.
“Jaa, ayo kita ke toko gelang di seberang sana!”
“Ikkuze~”
.
.
.
Sudah lima menit kami berada di
toko gelang ini. Jika dilihat dari koleksinya, toko ini lumayan bagus. Desain
gelangnya unik disertai harga yang lumayan mahal. Yeah, sepertinya pepatah
orang mengenai harga membawa rupa memang benar.
Untung Otou-san berbaik hati
memberiku uang jajan lebih untuk bulan ini. Terimakasihku untuk Otou-san
tercinta.
Sebuah gelang berbahan perak
yang terpajang di etalase terbuka. Desainnya cantik, ada ornamen-ornamen bunga
sakura yang terpasang di sana. Akupun hendak mengambilnya, mencoba mencocokan
dengan tanganku.
GREP
Sebuah tangan lentik menghentikanku
mengambil gelang unik tersebut. Mata hitamku membulat kaget, kupikir Sanae
sedang ada di stan gelang tali di sebelah kiri. Akhirnya memutuskan untuk
menengokan kepala ke sebelah kananku.
Gadis cantik berseragam sailor
putih hitam. Rambutnya berwarna hitam panjang sedikit bergelombang di bawah,
mungkin akibat catokan. “Gomen, aku mengambilnya duluan,” gadis beriris keabuan
itu tersenyum seperti sedang mengejekku. Tch, kutarik pikiranku mengatainya
manis. Ia menyebalkan, terutama senyum manjanya.
“Hm, silahkan,” kini aku
membalikan seluruh tubuhku menghadapnya. Namun, gadis menyebalkan tersebut
malah mengerutkan keningnya, seperti sedang berpikir.
“Akinari Shiroi?”
Tu-tunggu! Ada yang tidak beres.
Kenapa dia tahu namaku? Apakah aku seterkenal itu sehingga sampai orang dari
sekolah lain mengenaliku? Sepertinya itu tidak mungkin.
“Hn, siapa?” tanyaku balik, aku
tak mau terlalu percaya diri dengan hipotesisku.
“Ini Saaya Takahashi. Kita satu
SD dulu, kau ingat? Aku yang sering kau bantu saat mengerjakan PR.”
Saaya, Saaya, Saaya Takahashi.
Bingo! Dia teman masa kecilku
sebelum aku pindah ke Tokyo.
“Saaya-san?” aku memanggilnya,
iapun mengangguk berangsur memelukku. Aku memeluknya balik.
“Kau sekolah di Tokyo?” tanyaku
kemudian.
Saaya menggeleng, “aku sekolah
di Osaka. Aku ke sini untuk bertemu pacarku, dia sekolah di Kawagami Gakuen.”
Kawagami Gakuen? Demi Kami-sama,
aku sangat mengenal sekolah itu. “Ohh, lalu di mana pacarmu? Kenalkan padaku,
dong!” seruku penasaran.
“Tentu, sebentar ya?” ia
berbalik dan beranjak dari etalase gelang berbahan perak ini.
Sembari menunggu teman masa
kecilku yang aku akui sekarang terlihat sangat berbeda itu, aku kembali
melihat-lihat isi etalase dengan tinggi sekitar dua meter berak empat dan
terbuat dari kaca tebal.
Sudahlah, aku relakan saja
gelang sakura itu. lagipula, pasti masih banyak gelang unik di toko cabang dari
Hokkaido ini.
“Akinari-san,” seseorang
memanggilku. Ah suara Saaya. Berbalik. Seketika aku terkejut, tertegun, dan
mematung.
What the hell! Baru saja sekitar
satu setengah jam yang lalu aku berterimakasih pada Kami-sama, aku mengumpat
untuk saat ini. Kami-sama seperti tengah mempermainkan hidupku belakangan dan
hari ini.
“Aki-chan!” yabai! Kau datang di
saat yang tidak tepat, Sanae.
Sanae berhenti berlagak ceria
ketika gadis kawaii itu sampai di sebelahku, menenteng beberapa gelang yang
kuyakini pilihannya. “Ha-Hagane senpai?”
Akhirnya aku menghela napas,
menetralisir kegugupan yang tiba-tiba menyerang tubuhku. Ada Sanae dan banyak
orang di tempat ini.
“Konnichiwa, Hagane-senpai!”
salamku mencoba tersenyum biasa, senyuman normalku padanya. Tapi, aku yakin
bahwa dia tahu bahwa aku memaksa tersenyum untuknya.
Kou Hagane juga terlihat
terkejut, terlebih melihat perilaku diriku yang sepertinya terlihat biasa-biasa
saja.
“Konnichiwa, Shiroi-san dan Kinoshita-san,”
balasnya dengan nama panggilan barunya untukku. Aku sedikit kecewa. Oh, ia
menyapa Sanae juga.
“Eh, kalian sudah saling kenal?”
Aura tegang masih melingkupi
kami berdua, lebih tepatnya Akinari Shiroi dan Kou Hagane. Namun, suara
cempreng Sanae kembali mengagetkanku.
“Hagane, kau brengsek!” Sanae
mengumpat pada Hagane.
“S-Sanae, kau bicara apa? Maaf
ya, senpai, Saaya-san, Sanae-chan sedang datang bulan, haha,” bualku.
“Tidak! Berhenti bersikap
biasa-biasa saja, Aki! Aku tahu, hatimu sakit dan itu pasti gara-gara si
brengsek ini?” umpat Sanae lagi.
“Sanae, kau kenapa sih?” aku
sedikit membentaknya, sungguh kali ini aku kelepasan. Maafkan aku Sanae.
“A-Aki, kau membentakku?”
Tidak, tidak dan tidak. Sanae
salah paham. Saat aku hendak menjelaskan padanya, Sanae malah berlari menuju
meja kasir yang cukup jauh dari keberadaan kami. Dan aku berusaha mengejarnya,
namun kakiku seperti terkena lem super lengket di sini.
“Sanae-chan!” panggilku memecah
keramaian di toko baru ini. Sia-sia, Sanae tetap berlari meninggalkanku.
“Ano, apa hubungannya kalian
dengan Kou pacarku?” Saaya bertanya.
“Kami...” jawabanku terpotong Kou,
“kami seperti kakak dan adik. Dulu, kami teman satu band sih. Bukan begitu Shiroi-san?”
DEG
Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sadarlah,
Akinari! Pria di depanmu itu memang brengsek. Dia mempermainkanmu, Akinari.
“Hah? I-iya. Selamat ya, atas
jadian kalian. Aku turut senang, semoga langgeng,” doaku berdusta. Rasanya
seperti, ah aku tidak bisa mendefinisikannya.
“Arigatou, tapi sebenarnya kami
sudah jadian sekitar satu bulan yang lalu loh. Hehe...”
DEG
Satu bulan, Akinari. Dan kau
baru putus dengannya tiga hari yang lalu. Hatiku berguncang, miris rasanya
meratapi nasibku yang jarang beruntung ini.
Aku menunduk, tanganku meremas
erat tali tas selempeng yang ku cangklong lengan kiri. Gawat! Sesuatu yang
panas hendak keluar dari mataku. Sialan!
Tarik napas, hembuskan. Tarik
napas panjang dan hembuskan lagi. Ok, cara ini lumayan efektif untuk
menetralisir air mata yang memberontak ingin keluar dari kelopak mata.
“Wah, benarkah? Kenapa senpai
tidak cerita denganku? Ku kira kita ini ka-kak-dan-a-dik?” tanyaku sambil
tersenyum dan menekankan kata kakak dan adik pada Hagane sialan itu.
Mataku yang menyipit karena
senyum palsu tadi, melihat Hagane yang memasang raut tegang. Kau bodoh, Hagane!
Tapi, kau lebih bodoh lagi Akinari!
“Ah, hahaha gomen,” tawanya
canggung.
“Oh ya, aku harus mengejar Sanae
dulu ya? Kalian, selamat bersenang-senang. Bye!” akupun beranjak dari sana, tak
bisa menahan luapan air mata ini.
Setengah berlari, aku melewati
meja kasir dan hendak sampai di depan pintu masuk. Namun, kasir toko itu
memanggilku, “Okyaku-sama!” dan aku menoleh.
“Ini tadi ada pelanggan yang
menitipkan gelang ini untuk anda,” ucapnya dan menjulurkan tangannya
menyerahkan sebuah gelang berbahan perak. Bentuknya seperti rantai kecil dan
rantai-rantainya berbentuk bintang yang saling sinambung. Indah sekali.
“Siapa yang memberikan?” tanyaku
penasaran. Jangan-jangan, Sanae.
“Seorang pelanggan laki-laki,”
jawab kasir yang seumuran denganku itu. Sepertinya laki-laki di depanku ini
bekerja paruh waktu.
“Ciri-cirinya?”
“Maaf, tapi dia tidak mau
disebutkan.”
Aku sedikit kecewa mendengar
penuturannya. Dengan terpaksa, aku mengambil gelang cantik itu dari pelayan.
“Ano, apabila anda bertemu dengannya lagi tolong berikan ini padanya! Aku ingin
berterimakasih dan mengganti uang gelang ini,” ucapku sambil menuliskan nomor
ponsel dan e-mailku pada kertas notes kecil.
“Hai.”
“Arigatou gozaimasu,” berbalik
dan keluar dari toko yang hari ini membuat sport jantung saja.
“Hai, Arigatou gozaimashita~”
.
.
.
Berkali-kali aku menghubungi
Sanae tetap tidak diangkat-angkat. Kali ini sudah ke dua belas kalinya semenjak
dua puluh menit yang lalu. Namun, Sanae tak kunjung mengangkat panggilanku.
“Maaf, Sanae,” gumamku pelan.
Menyesali kenaifan diriku tadi sore. Apabila aku bisa jujur di depannya dan
tidak berpura-pura kuat ataupun tegar, pasti Sanae tidak akan marah seperti
ini.
Karena tak kunjung diangkat,
akhirnya aku menuliskan sebuah e-mail untuk Sanae.
Subject :
Minta Maaf
Konbanwa, Sanae. Aku Cuma ingin meminta maaf
padamu atas kenaifanku tadi. Sungguh, aku sangat menyesal berpura-pura kuat dan
tegar. Tapi sungguh, aku tidak bermaksud membentakmu tadi. Sekali lagi, aku
mohon maaf. -//\\-
Menghela napas panjang, aku
merebahkan badanku di atas tempat tidur, memandang langit-langit kamar sembari
menggumamkan sebuah lagu yang membuatku terkenang akan orang itu.
Nee, konna niwaraeta koto
Umarete hajimete da yo
Kitto watashi wa ne
Konno hi no teme ni machigai darake no
Michi wo aruite kitanda
Zutto hitori de
Flash Back
“Mau
nggak Akinari jadi pacarku?” suara beratnya memecah suasana ceria yang
terselubung di antara kami berdua. Aku dengan Kou Hagane, orang yang kusukai,
berada di sebuah kedai es krim, tempat favorit kami.
Aku
yang sedang tidak berkonsentrasi untuk mendengarkan akhirnya bertanya lagi,
“ada apa, senpai? Maaf, tadi aku habis mencari lirik lagu yang kusukai, jadi
tidak terlalu mendengarkan. Hehe...” tawaku canggung.
“Ah
dasar, kau ini,” ia mengacak-acak rambut panjangku yang berwarna cokelat
kemerahan.
“Aww,
jangan mengacak rambutku senpai! Aku menatanya susah,” rajukku padanya. Namun,
ia malah tertawa dan mencubit pipi kiriku.
Mengelus
pipiku yang sedikit memerah akibat jembelannya, mulutku mengerucut sebal. “Aki
tahu? Aku cuma mengacak rambut pada gadis yang kusukai.”
Aku
mematung mendengarkannya. Kali ini aku berusaha mempertajam pendengaranku agar
aku tak salah dengar. Takut-takut nanti aku kePDan lagi.
“Aku
juga cuma mencubit pipi gadis yang kusayang,” ia tersenyum lebar.
“Eh,
ap apa?” tanyaku tidak percaya. Setahuku, Hagane-senpai gemar sekali bercanda.
“Aki
mau tidak jadi pacarku?” dia menatapku serius dengan tatapan yang lembut.
Posisi
kami yang saling berhadap-hadapan ini membuat jantungku makin berdegup kencang.
Melihat keseriusan matanya dan aku melihat sebuah ketulusan di sana. Aku ingin
sekali menjawab ‘Ya, dengan senang hati’ tapi seakan bisu, aku cuma bisa
mengangguk dan menunduk menyembunyikan wajahku yang seratus persen kuyakini
sudah seperti tomat matang. Huwaa~ aku malu sekali.
“Hahaha...
Kau lucu sekali Aki kalau tersipu seperti itu. haha...” what the??? Hagane
tertawa seperti itu, jangan-jangan dia cuma bercanda lagi. Agh sial kau kena
perangkapnya, Aki. Tch!
“Senpai
bercanda?”
“Hah?”
“Apa
senpai bercanda?”
Hagane
menghentikan tawanya kali ini, melihat raut keseriusanku menatap bola mata
keabuannya. Ah masa bodo! Aku tak peduli lagi akan malu. Yang penting
perasaanku padanya yang sudah dipendam selama satu tahun lebih ini bisa
tersampaikan. Yeah, aku tak berhak mengharapkan jawaban yang kuinginkan sih.
“Aku...”
Hagane
tampak ragu. Haah... sudah jelas, ia hanya bercanda. Dasar laki-laki tampan,
seenaknya saja si bikin gadis ingin menangis.
“Aku
mau pulang dulu. Aku ingat ada tugas buat beesok,” aku berdiri dari kursi.
Sepertinya cairan panas hendak memaksa keluar dair mata.
“Akinari?”
Sebelum
beranjak, aku tersenyum, “mou~ lain kali Hagane senpai jangan bercanda seperti
itu, yah? Takutnya tidak akan ada gadis yang mau sama senpai loh.”
Berbalik
menuju ke meja kasir untuk membayar pesananku, lalu aku keluar sambil menunduk.
Kami-sama,
tolong jangan paksa air mataku turun sekarang! Aku belum sampai rumah.
Doaku
dalam hati, sembari mempercepat dan memperpanjang langkahku menuju stasiun.
Sekarang baru sampai di jembatan yang sepi. Warna langit telah berubah
kejinggaan, menandakan senja tiba. Merasa sudah tidak kuat menahan beratnya air
mata, aku berhenti di jembatan. Menatap hampa sungai yang berkilau keemasan.
Air
mata tak segan-segan jatuh menetes. Dasar Akinari memang gadis lemah. Hanya
gara-gara ditolak oleh seorang lelaki, masa si Akinari cengeng ini menangis?
Payah.
Nee, konna niwaraeta koto
Umarete hajimete da yo
Kitto watashi wa ne
Konno hi no teme ni machigai darake no
Michi wo aruite kitanda
Zutto hitori de
Seseorang
pasti memergokiku tengah menangis. Mengejek dengan lagu cinta seperti itu lagi.
Oh, poor Akinari. Bahkan, orang lainpun tahu kalau kau sedang patah hati,
menangis di sisi jembatan seperti ini.
“Gomen,”
Sudahlah
tidak perlu minta maaf. Aku memang gadis yang jarang beruntung. Tak apa,
bernyanyilah mengejek seperti tadi.
“Aki,
aku tadi serius.”
Sekarang,
di dalam pikiranku suara Hagane bergema mengatakan bahwa ia tadi serius.
Halusinasimu hebat, Aki.
“Aki,
aku mencintaimu,” namun entah kenapa halusinasiku kali ini seperti nyata!
Hagane membalik tubuhku untuk menghadapnya lalu memelukku. Bahkan, hangatnya
menjalar ke ubun-ubun. Wangi maskulinnya terasa di hidung. Tubuh tegapnya, dada
bidangnya, semuanya seperti nyata.
“Aki,
tatap mataku!” aku menuruti halusinasiku.
Mata
keabuannya sangat jernih dan aku terhipnotis dengan halusinasiku sendiri.
Hagane
bayanganku ini, tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke wajahku. Lalu mencium bibirku
lembut. Hanya ditempelkan, dan apabila aku membalas ciuman semu ini, aku pasti
gila.
“Aku
mencintaimu. Dan aku tidak bercanda saat mencium seorang gadis seperti ini,”
entah karena ciuman ke dua ini, atau perkataannya, atau keduanya, akhirnya aku
menyadari kalau ini asli, bukan halusinasi semata.
Hatiku
memanas dan lega mendengar Hagane mengucapkan seperti itu. Sambil menikmati
ciuman yang lembut ini, mataku terpejam. Dan, aku tidak akan pernah melupakan
momen ini, serta lagu kenangan kami yang ia nyanyikan untukku.
End of Flash Back
Otakku sepertinya benar-benar
rusak. Memikirkan seseorang yang telah dimiliki orang lain. Dan hei! Untuk apa
aku menangis saat ini? Sadarlah, Aki! Dia brengsek. Dia, gemar mempermainkan
gadis. Apa jadinya bila Saaya-san tahu kalau aku ini sebenarnya mantan
kekasihnya? Bukan hanya sekerdar adik dan kakak?
Drrt... Drrt...
Drrt...
Ah, ponselku! Pasti Saaya
membalas. Pikirku dan segera bangkit mengambil smarphone yang ada di atas meja
sebelah ranjang.
From :
Hagane231@hotmail.com
Subject :
Maaf
Akinari-san, maafkan aku. Tapi, tolong
jangan beri tahu Saaya kalau kita ini mantan kekasih.
Si brengsek Hagane yang mengirim
e-mail. Emosiku semakin meluap melihat e-mail sialan darinya.
Subject: Maaf
Ya, tentu.
Balasan singkatku tidak
kuharapkan mendapat balasan lagi darinya. Tunggu! Aku mengatakan harapan? Haah,
entahlah.
From :
Hagane231@hotmail.com
Subject :
Maaf
Apa kau marah?
Pertanyaan macam apa itu? Tentu
saja aku marah, idiot!
Subject: Maaf
Tidak.
From :
Hagane231@hotmail.com
Subject :
Maaf
Apa kau masih mencintaiku?
Jawabannya tentu saja ya.
Subject: Maaf
Tidak.
From :
Hagane231@hotmail.com
Subject :
Maaf
Syukurlah, aku jadi tidak ada beban
sekarang. Terimakasih, ya Akinari-san. Sebenarnya aku masih menyayangimu.
Kau pasti salah baca, Akinari.
Dia bilang masih menyayangimu. Kalau begitu, kenapa kau pacaran dengan Saaya?
Subject: Maaf
Oh, ya?
From :
Hagane231@hotmail.com
Subject :
Maaf
Tentu. Sebagai adik.
Aku tak berhak mengharapkan
lebih darinya. Aku tak berharap mendapat kasih sayang sebagai pasangan kekasih
darinya. Bahkan, aku berharap berhenti berbicara harapan sialan ini.
Subject: Maaf
Begitu.
Lihat! Jawabanku padanya sangat
berbanding terbalik bukan dengan hatiku? Terserah kau mau menganggap aku apa.
Aku terima dan pasrah dengan diriku yang payah ini.
.
.
.
“Sanae-chan, kita makan siang
bersama yuk!” ajakku pada Sanae siang ini. Namun, Sanae hanya mendengus, lalu
tak mengindahkanku. Ia berjalan melewatiku dan aku hanya bisa tersenyum miris
kecewa.
Sudah sejak tadi pagi Sanae
tidak mau berbicara denganku. Ia terkesan seperti menghindariku terus. Aku
tahu, ini semua salahku. Aku memang payah.
Akhirnya dengan terpaksa, aku
kembali duduk di bangku ku. Memakan bento yang telah disiapkan Okaasan pagi
tadi, sendirian. Makanan yang biasanya enak ini, entah kenapa terasa hambar di
mulut.
“Shiroi-san!” panggil seorang
teman laki-laki yang sekelas denganku dari arah belakang.
“Nani?” jawabku acuh padanya.
Aku tak perlu menengok untuk melihat siapa dalang yang membuyarkan lamunanku.
Anak itu memang sering kali berbuat aneh terhadapku. Makannya, aku jadi malas
meladeninya.
“Nee, kau kenapa dengan
Kinoshita-san? Biasanya kalian makan siang bersama?” pria tersebut, Shinichi Ogawa.
Dia pria yang cukup ceria. Rambutnya blonde dan matanya biru seperti berlian.
Sangat cantik.
“Shiroi-san?”
Pria tersebut memanggilku dan
menyadarkan diriku dari lamunan tentangnya. Kemudian, aku menggeleng lemah.
Menampik semua pikiran yang berkecamuk senang di otak. Ingat! Walau dia lumayan
tampan dengan keturunan separuh Inggrisnya, si Shinichi Ogawa sangat
menyebalkan. Dia sering kali mengganggu dan menjahiliku. Entahlah, tapi emosiku
selalu terpancing saat di dekatnya.
“Kenapa kau memandangi wajahku?
Kau terpesona? Aku tahu, aku tampan. Hahaha...”
Kuso, dia menggodaku dan anehnya
pipiku memanas sekarang!
“Kau terlalu percaya diri tahu.
Mana mungkin aku terpesona dengan tampangmu yang seperti tampang teroris itu?”
aku munafik dan sedikit tsundere padanya. Gengsi, lah mengakui tadi aku sungguh
benar-benar terpesona dengan ketampanannya.
“Lalu, kenapa kau memandangiku?”
ia memasang tampang innocent andalannya yang membuatku ingin mengeluarkan darah
di hidung. Kuso! Aku tergoda.
Memutar otak, akhirnya aku
menemukan sebuah jawaban yang masuk akal. “Aku cuma ingin tahu, bagaimana
laki-laki sepertimu punya bulu mata yang lentik? Apa kau selalu mengambil
maskara Ibumu? Hahahaha...” Aku mengejeknya puas.
“Enak saja! Dasar gadis dada
rata pendek!”
“Apaa? Dasar banci bulu mata
lentik!”
“Jelek!”
“Kau buruk rupa!”
“Gadis aneh!”
“Pria abnormal!”
“Autis!”
“Idiot!”
“Mata cokelat jelek!”
“Mata biru norak!”
“Bibir sexy menggoda!”
“Bibirmu lebih sexy!”
“Dasar cantik!”
“Dasar tampan!”
Tidak beres! Aku bicara apa
barusan? Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali.
“Ehh? Kau menyebutku cantik
loh?”
“Kau mengakui kalau aku tampan.
Haahahaha!”
Entah ekspresi apa yang harus ku
keluarkan untuk menghadapi tawa setannya. Sebenarnya bukannya di sini posisiku,
aku juga bisa terawa seperti itu? Dia mengataiku cantik loh? Tapi, kok aku yang
malu ya? Agh dasar Shinichi Ogawa bodoh!
Shinichi masih tertawa keras.
Lalu, aku mendengus kesal olehnya.
“Hahahahaha... Shiroi-san...
Hahahahahha...”
“Terserahlah,” hei! Aku muak
mendengar tawa setannya tau. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengalah dan
kembali memakan bento enak yang terasa hambar ini.
Ketika hendak memasukan sebuah
sosis berbentuk gurita ke mulutku dengan sumpit, tiba-tiba saja Shinichi Ogawa
menyebalkan di depanku, dia sudah berhenti tertawa, menghentikan laju sumpit
berwarna merah jambu ini.
“Chotto, Shiroi-san!”
Mengerenyitkan dahi, mataku
memincing padanya. Aku tak jadi memakan sosis itu. huh!
“Ada sesuatu di sosismu, coba
kau arahkan sumpitmu ke sini! Mungkin aku salah lihat,” jelasnya menanggapi
auraku yang sepertinya menghitam olehnya.
Walau malas, akupun menuruti
perkataannya. Aku menyodorkan sumpit berikut sosis ke arahnya. Namun, Ogawa
menyebalkan itu malah—“Hap!”—melahap sosis di sumpitku dengan
mudah.
“Enak,” ia masih mengunyah. Aku
masih terdiam.
“Minta lagi dong, aku lapar.
Hehe...” Ogawa mencomot sebuah sosis lagi di kotak bentoku.
Karena sudah terlampau emosi,
aku berteriak padanya, “OGAWAAA!!!!!” dan, seisi kelas menatapku, kami
maksudku, dengan tatapan horor. Ini wajar, karena aku membuat kelas yang
awalnya bising, tambah bising.
.
.
.
Istirahat makan siang telah usai
dengan waktu yang kuhabiskan untuk bertengkar dengan Ogawa sialan itu. haah...
Sudah tahu dia sukanya bikin emosi, kenapa aku masih mau meladeninya si? Dasar
aku bodoh!
Tapi, kemudian tanpa sadar aku
tersenyum, senyum lega yang selama ini kurindukan. Karena si Ogawa, aku jadi
melupakan masalahku untuk sejenak. Aku malas mengakuinya, kalau dia berhasil
menghiburku. Tch!
Guru pelajaran Matematika masih
sibuk menjelaskan materi yang tidak ku mengerti. Aku memang terkesan
memperhatikannya, namun sebenarnya tak ada ilmu secuilpun yang bisa masuk ke
dalam otak ku. Selain karena faktor guru yang memang terlalu cepat mengajarkan
materi rumit itu, aku masih kepikiran tentang Sanae.
Sanae masih ngambek padaku. Dan
aku yakin ia sangat sangat serius untuk marah padaku. Sanae, aku benar-benar
minta maaf.
PLUK
Tubuhku terlonjak. Sesuatu
berhasil terlempar di punggungku. Tch, aku tahu ini pasti kerjaan Ogawa.
“Kenapa kau melempariku dengan
kertas sampah?” omelku berbisik, takut ketahuan guru.
“Entahlah. Sepertinya kertas itu
ingin sekali kau sentuh,” jawabnya acuh.
Mendengus kesal, akhirnya aku
mengambil sebuah kertas yang kutahu sudah diremas-remas kuat membentuk sebuah
bola. Kemudian membukanya.
Mentari dan Bulan
Mereka berbeda
Mereka memiliki fisik yang berbeda
Mentari besar
Dan Bulan kecil
Mentari bercahaya
Dan Bulan tampak buta oleh gelap
Namun, mereka selalu berdampingan
Memberikan cahaya untuk bumi
Siang hari Mentari
Malam hari Bulan
Tanpa Mentari, Bulan tak bersinar
Tak berguna bagi Bumi
Tanpa Bulan, Bumipun hancur
Ditelan gelapnya malam nan sunyi
Seperti sebuah persahabatan
Terkadang salah satunya tampak Matahari
Dan yang lain tampak Bulan
Dan persahabatan tampak seperti Bumi
Aku terhenyak beberapa detik
setelah membacanya. Ini lirik lagu! Dan apakah...
“Ogawa-san, apa ini?” Ogawa yang
menulisnya?
“Hanya coretan untuk orang
bodoh,” jawabnya cuek.
“Ini untuk ku?” tanyaku lagi.
“Memangnya orang bodoh yang
tengah bertengkar dengan sahabat cerewetnya siapa lagi?” dan pernyataannya
kembali mengejutkanku.
“Ogawa-kun, Arigatou~” Ahh, aku
tersenyum padanya.
Entahlah, setelah aku tersenyum
wajahnya tampak memerah. Apakah dia demam, setelah membuatkanku dan Sanae
sebuah syair lagu? Oh Kami-sama, apa yang harus kulakukan?
“Shiroi-san, Ogawa-san? Apa yang
sedang kalian perbincangkan?”
DEG
Gawat! Sensei pasti memergokiku.
Dan, saat aku melihat wajah tampan Ogawa yang masih sedikit memerah, aku
menyeringai. Yatta, aku punya alasan bagus.
“Ano, Sensei! Ogawa-san
sepertinya demam. Wajahnya merah,” jawabku beralasan. Hei! Alasanku masuk akal
kan?
“Apa benar, Ogawa?” bagus,
Sensei percaya. Dewi Fortuna ada di pihakku.
Ogawa tampak bingung, namun
akhirnya ia mengangguk. “Iya, Sensei. Bolehkah aku izin ke UKS? Sepertinya aku
terkena demam musim panas. Hahaha...”
Apa??? Demam musim panas? Ogawa,
kau bercanda kan? Kau seperti bocah.
“Begitu? Ya sudah, Shiroi-san
tolong antar Ogawa ke UKS ya?” WTH? Sensei percaya?
“Ah, hai~”
Tak mempedulikan alasan konyol
Ogawa, aku mengiyakan saja permintaan Sensei. Ada alasan bolos pelajaran, asik.
Dan untuk ke sekian kalinya, aku mengucapkan terimakasih pada Ogawa bodoh.
.
.
.
“Apa kau benar-benar terkena
demam musim panas?” tanyaku ketika kami berjalan melewati koridor kelas tiga
menuju ke UKS.
“Bodoh, mana mungkin?” tentu
saja, mukamu merah.
“Mukamu merah loh tadi?” jawabku
jujur.
Dan ia terhenyak, mukanya
kembali sedikit memerah. “Tidak kok, tidak. Aku hanya merasa panas saja di
dalam kelas.”
“Begitu,” aku menundukan kepala
sambil terus berjalan mengikutinya.
Sesampainya di UKS, kebetulan
sekali penjaga UKS sedang tidak ada saat itu. Jadi, kami tidak perlu berbohong
lagi untuk menutupi demam musim panas gadungannya si Ogawa.
Pria di depanku duduk di sebuah
ranjang pinggir ruang UKS. Aku mengikutinya. Namun, aku hanya berdiri di
samping ranjang.
“Shiroi-san!”
“Kenapa?”
“Duduk!”
Sesuai perintahnya, aku duduk di
kursi sebelah ranjang tidur yang tengah ia duduki.
“Kau membawa sampah itu?”
Sampah? Maksudnya syair lagu
tadi?
“Maksudmu ini?” menyodorkan
kertas tadi padanya.
“Kau mau menyanyikannya?”
tanyanya lagi. “Aku tahu, kau bisa menyanyi. Walau suaramu cempreng dan
pas-pasan. Tapi setidaknya kau bisa menyanyikan lagu itu,” ungkapnya kemudian.
Tch, dia mengejekku.
“Sebenarnya aku ingin menanggapi
ejekanmu, namun aku ingat aku sedang banyak pikiran dan malas berdebat dengan
setan sepertimu,” tanggapku akan ejekannya.
Dia mendengus kesal lantaran aku
mengatainya setan. “Aku tahu kalian sedang bertengkar. Memang ada masalah apa?”
“Sanae?”
“Hm,” dia memandangku,
tatapannya tepat pada onyxku.
Aku memalingkan wajahku,
menghindari tatapan mengintimidasinya. Pasalnya, dia seperti memenjarakan onyx
ku. “Bukan urusanmu,” ujarku enggan bercerita mengenai masalahku dengan Sanae.
“Bukan waktunyu buat jadi gadis
tsundere, Shiroi-san!”
DEG
“Aku merasa terganggu dengan
dirimu yang tiba-tiba saja sendiri seperti tadi. Aku tahu kau memang jarang
akrab dengan gadis lain,” ungkap Ogawa tenang. Sejenak, ia menyembunyikan sifat
menyebalkannya.
“Dari mana kau tahu? Kita baru
setengah tahun kenal?” sangkaku.
“Aku jarang melihatmu akrab
dengan orang lain selain dengan Kinoshita-san,” sapphire indah itu kembali
menangkap onyx ini. Dia menatapnya lembut dan mengintimidasi seperti tadi.
Namun, kali ini tak setajam dan menusuk seperti sebelumnya.
“Ini semua gara-gara pria
bodoh,” astaga aku mengumpat.
Ogawa menaikan sebelah alisnya
bingung. “Jangan bilang kalau kalian berebut pria? Dan, hei! Bukannya kau sudah
punya pacar?”
JLEB
Menggeleng lemah dan menunduk,
tangan meremas rok seragam sekolah ini. “Bukan karena berebut pria, bodoh!”
“Lalu?” Ogawa tidak marah,
kukatai bodoh?
“Aku juga sudah putus dengannya
lima hari yang lalu.”
“Heeh? Kenapa?” dia terlonjak kaget.
Sebenarnya aku adalah tipe orang yang tertutup dan sulit terbuka dengan orang
lain. Tapi, entah kenapa hanya kepada Ogawa ini lah aku bisa mengekspresikan
semuanya. Marah, benci, senang dan sedih. Semuanya alami dan tak terkesan
kubuat-buat.
“Dia memutuskanku entah karena
apa, sebelumnya aku memang hanya tahu dia hanya menganggapku adiknya saja.
Tapi, ternyata dia punya gadis lain yang baru kutahu kemarin adalah teman masa
kecilku. Mereka sudah jadian selama sebulan. Ketika aku dan Sanae ada di toko gelang,
kami bertemu dengannya dan pacar barunya. Gara-gara aku yang terlalu munafik
dan terlalu memaksakan perasaanku yang terkesan biasa-biasa dan sudah melupakan
masalah dengan mantanku, Sanae marah. Aku bahkan tega membentaknya. Hahaha...
Kau boleh tertawa Ogawa,” aku tertawa hambar. Wajahku kudongakan menatap
langit-langit ruang UKS, menahan cairan bening yang menyeruak dari kelopak
mata.
“Hahahahaha...” tawa Ogawa
menggema di ruang UKS. Aku tahu, tawanya bukan tawa mengejek seperti biasa.
“Hahahahaha...” aku masih ikut
tertawa. Bahkan, lantaran tawaku ini air mata menjadi jatuh dengan bebas dan
deras. Aneh.
“Hahahahaha... Kalau mau tertawa
sampai menangis jangan seperti itu gayanya!” seru Ogawa yang masih tertawa
hambar. Tawa yang sama seperti ku.
Dan, ketika aku tertawa sambil
mengeluarkan air mata kepedihan menghadapnya, seketika itu pula mataku
membulat. Merasakan rengkuhan hangat melingkupi tubuhku.
“Hahaha... Kalau begini, baru
kau terlihat keren bila menangis,” sembari memelukku erat ia berucap.
Tanpa komando, kedua tanganku
melingkari punggungnya yang tegap. Seketika itu pula, seluruh beban dan
kesedihan menyeruak keluar menjadi air mata. Aku menangis amat deras, sampai
aku tak sadar bahwa blazernya pasti basah. Yang kuingin saat ini hanyalah
mengeluarkan semua emosiku yang kupendam selama hari-hari terakhir ini.
.
.
.
“Hiks... Hiks... Hiks...”
Bel pulang sekolah sudah
berdentang sekitar dua menit yang lalu. Dan, mataku masih mengeluarkan air mata
yang semakin lama semakin reda. Astaga, sepertinya satu jam kulalui hanya untuk
menangis!
Salah satu tangan besar yang
tengah memelukku ini mengelus-elus punggungku yang masih bergetar, sesenggukan
akibat menangis. Aku dapat merasakannya merambat ke atas kepalaku, sesekali
mengelus lembut.
“Makannya, jangan sok kuat!”
makinya yang lebih terdengar seperti sebuah nasihat. Aku hanya mengangguk lemah
sebagai jawabannya. Masih mengangguk dalam dada bidang hangat ini. Andai boleh
meminta, aku ingin waktuku berhenti di sini. EH?
Ia melepas pelukannya pada
tubuhku ketika ia merasa dan memastikan bahwa aku sudah cukup tenang, walau
masih sedikit sesenggukan.
Mengusap kedua pipiku dengan
kedua ibu jari besarnya. Ia menangkup wajah yang aku sangat yakin sedang dalam
kondisi kacau balau.
“Kau jelek sekali, jelek?”
Ah, dia mengejekku lagi.
“Tapi, kali ini aku rasa kau
lebih cantik dari pada biasanya. Maksudku, setidaknya wajahmu yang sekarang
tidak menyembunyikan apapun lebih baik. Yeah, walaupun masih jelek.”
Dia masih terus mengejekku,
namun entah kenapa ejekannya malah membuatku tersenyum dan tertawa lega. Bukan
tawa miris seperi tadi.
“Arigatou, Ogawa-san.”
Dan, tubuhku terulur untuk
kembali memeluknya sambil tersenyum penuh kelegaan. Sedangkan Ogawa, dia
mengelus rambut cokelatku yang pasti saat ini sangat berantakan.
“Aku tidak melakukan apapun,
bodoh!”
Aku mendongak menatap sapphire
nya dalam-dalam. Sapphire indah milik Ogawa menarikku terlalu dalam. Hingga aku
dengan refleks memejamkan mata dan memajukan wajahku untuk menciumnya.
Ogawa menempelkan bibirnya ke
bibirku. Ciuman singkat yang penuh perasaan. Sudah jarang sekali aku
mendapatkannya.
Ciuman yang hanya terhitung
beberapa detik saja, namun sudah membuat perutku geli seperti ada yang
menggelitiknya.
Karena malu, aku menunduk. Dia
juga hanya diam saja. Duh, Akinari kenapa kau menciumnya? Dasar bodoh!
“Go-gomen,” pinta ku padanya
yang terlihat memalingkan muka. Sekilas, wajahnya tampak sedikit semburat
merah.
“Bodoh!” Dan Ogawa tersenyum
sambil mengusap kepalaku lembut. Kuanggap kau memaafkanku, Ogawa.
Ogawa turun dari ranjang yang
kududuki. “Ikut aku!” suruhnya.
“Ke mana?”
Tiba-tiba saja Ogawa berjalan
menuju sampingku, kemudian dia menarik paksa tangan kiriku untuk mengikutinya.
Hei! Kenapa aku hanya diam dan tidak melawan? Jelas-jelas dia menarik ku
seperti ini? Kami ini musuh loh.
Koridor tingkat dua masih
sedikit ramai karena memang bel baru berbunyi kurang dari lima belas menit yang
lalu.
“Ambil tasmu!” aku menurutinya.
Kenapa lagi-lagi aku menuruti perintahnya?
“Ayo!”
Ogawa menggandengku, maksudku
menarik, berjalan menuju deretan ruang klub seni. Jika feeling ku benar, dia
akan membawaku menuju ruang musik yang kutahu sedang tidak ada orang di dalam.
Yeah, hari ini semua klub diliburkan karena akan ada rapat anggota OSIS dengan para
ketua klub. Itu si yang kudengar dari ketua klub manga, klub ku.
Dia, Ogawa, menutup pintu ruang
musik. Mungkin takut akan ada yang mengganggu.
“Kau bisa cepat menghafal kan?”
tanyanya. Dia duduk di kursi piano ruang itu.
“Kurasa,” mengangguk sedikit tak
yangkin dengan jawaban dari pertanyaannya.
“Dengar baik-baik dan kau harus
menghafal nadanya!”
Tanpa mendengar jawabanku, Ogawa
mulai memainkan piano itu dengan pelan dan lembut. Nadanya mengalir di setiap
telingaku bebas, teratur dan mengena di hati. Nada yang sangat indah, kupikir.
Memejamkan mata, mencoba
merasakan alunan nada yang lembut dan merasuk ke dalam hati. Ini sungguh
menenangkan. Dan seketika, otakku menyerap tentang ingatan nada yang dimainkan
Ogawa.
Di akhir lagu dia memelankan temponya.
Dan beberapa detik kemudian, akhirnya lagu itupun selesai diiringi mataku yang
kembali terbuka.
“Kau sudah hafal, Shiroi-san?”
tanyanya.
Aku menggaruk pipi yang kalian
pasti tahu, memang tidak gatal, namun secepatnya aku menangguk. “Ya, mungkin. Apa
itu lagu karanganmu?”
“Menurutmu?” ah, dia malah
bertanya balik. Sudahlah, aku yakin itu
lagu ciptaannya.
“Oh ya, kapan kau
menciptakannya?” kejengkelanku berubah karena rasa penasaran.
“Barusan.”
Hah? Barusan? Aku tahu, dia
memang jenius, tapi bagaimana bisa?
“Kau tidak sedang bercanda kan?”
aku menatap matanya, mencari sebuah kebohongan di sana. Walau hasilnya NIHIL.
“Itu tidak penting. Yang lebih
penting sekarang, apa suara cemprengmu itu cocok dengan laguku ini?” Dasar, dia
mengejek ku lagi.
“Menyebalkan. Sini, aku mau
lihat partiturnya!”
“Sudah kubilang, itu lagu baru
yang baru saja kukarang. Bagaimana aku sempat mencatat partiturnya? Makannya
aku menyuruhmu untuk mengafalnya, bodoh!” Ogawa mengataiku bodoh sambil tertawa
mengejek.
“Uh, baiklah,” aku menarik nafas
dan mulai menyanyikan nada yang kuingat dengan lirik “La la la” karena aku tak
tahu lirik aslinya.
“Bagaimana?” tanyaku ragu.
“Sudah kuduga. Suaramu...”
“Pasti bagus kan? Hm, Ogawa-san
kau terlalu meremehkanku. Hahaha...” aku menyombong kan diri sambil tertawa
menang.
“Fals.”
“Hahahaha...” aku masih tertawa,
tapi, “HAAAHH? Fals katamu?”
“Huh, kukira dulu suaramu tak
separah ini.” Dulu? Kapan itu?
“Kapan kau mendengarku
bernyanyi?”
“Saat kau tampil dengan band mu
di acara lomba band tingkat kota.”
DEG
Hah, Ogawa kau mengingatkanku
dengan si berengsek itu lagi. “Huh, jika niatmu itu cuma mau mengejekku lebih
baik aku pulang saja deh.” Ucapku dan mengambil tas sekolahku.
“Jadi, kau sudah menyerah?”
ucapnya menghentikanku menggeser piintu ruangan.
“HAH? Apa maksudmu?”
“Sampah tadi kau masih
membawanya kan? Sekarang, coba kau nyanyikan lagu itu dengan lirik di sampah!
Siapa tahu tidak terlalu fals. Aku tidak yakin sih.” Ugh! Dasar Ogawa. Rasanya
ingin menjahit mulutnya dengan rantai.
“Ok. Akan kubuktikan kalau
suaraku itu tidak fals.”
Huaa... Aku terbawa suasana.
Akhirnya dengan lantang aku menyanyikan lagu milik Ogawa dengan syair yang telah ia berikan, maksudku lemparkan
kepadaku.
“Hm? Bagaimana? Kau pasti
menyesal sudah mengejekku tadi. Haha... Aku memang hebat.” Sombongku.
“Bagus! Sekarang, kita ke rumah
Kinoshita.”
“Hah? Kenapa kau tidak
menyangkalnya seperti tadi? Lalu, apa maksudmu itu? ke rumah Sanae? Mau apa?
Kau tidak akan menyuruhku menyanyi di depan rumahnya kan? Jangan bodoh, Ogawa!”
“Kenapa tebakanmu tepat? Ayo!”
HAAHH? Dia benar-benar
menyuruhku menyanyi di depan rumah Sanae? ORANG INI GILAAA!!!
.
.
.
.
END OF PART 1