Selasa, 16 September 2014

MY STORY


Inilah sebenarnya yang ingin kuketahui. Bahkan, lebih ingin kuketahui dari pada rahasia yang paling rahasia di dunia ini.
Mimpi dan cita-cita, entahlah apa ada perbedaan di antara 2 kata bermakna ambigu itu?
Yang kutahu, semua itu hanyalah sebuah angan-angan di antara angan-angan. Yang berarti semuanya hanyalah khayalan belaka yang hanya mempunyai 0,1% untuk menjadi nyata. Ya, hanya 0,1%. Karena, aku kembali takut untuk mengetahui itu hanyalah mimpi dan cita-cita belaka.

Arakan mega di atas langit yang diterangi oleh cahaya kemerah kuningan membayangkan bayang-bayang tubuh ini di bumi. Bayangan yang semakin memanjang membuat gerakan bayangan itu semakin dipercepat. Suara ketukan sepatu tak begitu terdengar menggema ditelinga. Yang terdengar hanyalah nyanyian gagak yang menghiasi sang langit jingga.
“Gawat, sudah jam 6 sore.” Lantunan kalimat rutukan diucapkan sebagai tanda kekhawatiran yang mendalam atas situasi yang tengah terjadi di antara suasana ini.
Memang, tak seharusnya mulut ini mengumpat. Toh, diri ini sadar kalau hal yang baru dilakukan oleh sang mulut akan terasa sia-sia saja. Akan jadi kegemparan saat tubuh seorang gadis tiba-tiba saja berpindah tempat dalam sekejap karena rutukannya.
Langkah kaki ini dipercepat dan diperlebar. Itu memang memungkinkan untuk lebih cepat sampai di tempat tujuan. Setidaknya dengan kecepatan seperti ini diriku yakin akan dapat sampai sekitar 5 menit dari biasanya. Walaupun, harus mematikan rasa pegal di kaki yang tak terlalu panjang ini.
Hati terasa lega ketika tubuh telah duduk di bangku kendaraan yang sedari tadi menjadi tujuan. Well, bisa dikatakan ini hanya setengah dari tujuanku. Merasakan padatnya isi dari kendaraan ini yang semakin membuat letih sudah menjadi rutinitas dalam kehidupanku selama 16 tahun ke belakang. Satu-satunya kegiatan yang harus dilakukan ialah hanya dapat duduk dan menunggu atau bisa saja membaca buku. Ok, mungkin dari pilihan terakhir itu agak sedikit tak mungkin karena diri ini tak begitu suka dengan buku, oh ya, kecuali manga tentunya.
Onyx melirik ke kanan kiri, mencari sedikit pemandangan yang mungkin akan membuatnya sedikit lebih bisa menunggu di sela ruang besi berjalan dengan kekuatan super yang padat ini. Sedikit kecewa karena yang tertangkap di sepasang onyx ini hanyalah orang-orang membosankan dengan pakaian kantor dan juga sedikit orang-orang dengan seifuku di sekitarnya. Namun, hal itupun tak jua membuat mata ini merasa tertarik.
Sepertinya ini pilihan terakhir untuk sedikit mengusir perasaan bosan yang tengah bercampur dengan letih di tubuh. Mendengarkan lagu cukup bisa. Mulutku sedikit mengulas senyum menyadari ada hal lain yang terlupakan di otak. Earphone berwana baby pink telah terselit di lubang telinga. Dendungan lagu yang terdengar dari alat itu sangat membuat hatiku tenang, untuk 20 menit ke depan.
“Tadaima.” Sapaan ‘aku pulang’ yang menjadi rutinitas kuucapkan tanpa ba bi bu atau yang lainnya.
“Okaeri, Aki-chan.” Yeah, balasan itulah yang selalu jadi kata lanjutan dari mulutku.
Dengan langkah tenang mulai menuju lantai 2 rumah dengan model modern ini. Sedikit merenggangkan badan, aku meletakan tas sekolah di kursi depan meja belajar. Sesegera mungkin, handuk putih bercorak bunga berwarna putih pula telah tersambar dan tersampir di bahu kanan. Kenop pintu tergeser. Kemudian, dengan harapan agar tubuh merasa rileks diriku melakukan kegiatan berendam.
“Aki-chan, cepat turun!”
“Hai.”
Baru saja waktu berjalan 15 menit, seseorang yang kuyakini orang yang telah melahirkan ku berteriak dari bawah. Bergegas keluar dari bak mandi dan menyambar handuk yang tergelantung di gantungan handuk.
“Tou-san belum pulang?” Sadar masih ada seorang lagi yang belum ada di ruang makan ini.
“Belum, katanya hari ini ia lembur.” Wanita berumur 35 tahun itu menjawab sambil terus berjalan menuju dapur mengambil lauk pauk yang tadi ia masak.
“Oh.” Aku hanya bisa ber ‘Oh ‘ ria.
“Bagaimana dengan sekolahmu, Aki-chan?” Setelah meletakan semangkuk kari di meja makan, Okaa-san ku bertanya perihal sekolahku hari ini.
“Hn, seperti biasa. Tidak ada yang spesial sepertinya. Ittadakimasu!” Mulai menyumpit nasi yang sedikit lembek. Khas nasi Jepang.
“Sou...” Okaasan sedikit kecewa mendengarkan jawaban yang keluar dari mulutku. Sepertinya ia mengharapkan agar aku menceritakan sesuatu untuk obrolan di meja makan yang biasanya selalu diiringi dengan keheningan.
                 Ponsel flip berwarna putih gading dengan hiasan berupa stiker-stiker lucu dan gantungan berbentuk kelinci kini bertengger tenang di meja belajar. Menemaniku yang tengah mengerjakan beberapa tugas mata pelajaran Bahasa Jepang.
                Mataku sedikit memincing mengalihkan pandangan dari aksara-aksara kanji yang sangat rumit. Berharap ada sebuah gerakan mendadak ketika kutolehkan pandangan. Haha... Berharap, bodohnya diriku!
                Kembali. Tinggal sedikit, tugasku akan terselesaikan. Humm... 5 Menit lagi, targetku berusaha menyelesaikan tugas ini.
PIIP PIIP PIIP
                Bingo! Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Sebuah e-mail masuk di saat tugas ini selesai. Sedikit mengulum senyum, ponsel flip yang menurutku imut kubuka dengan tak sabaran. Ingin segera tahu siapa yang pertama kali membuatku mengulum senyum di malam ini.
To           : Akinari-shiroindark@hotmail.co.jp
Subject : Konbanwa!
Aki-chan, besok karaokean yuk?-/.\-
                “Hn... Dari Sanae.” Sedikit mengeluh rupanya. Yeah, sedikit. Hanya sedikit. Mana e-mail nya tidak terlalu penting lagi.
To           : Sasanae-chan@hotmail.co.jp
Subject : Konbanwa!
Hn, tidak janji. :P
                Yosh, sudah jam 12 malam. Waktunya tidur.”
                Sebelum menutup mata aku berucap sendiri, “oyasumi, Aki-chan. Jaa, matta ashita ne...”
                Namun, suara e-mail masuk kembali terngiang di telingaaku. Haah, pasti si Sanae lagi. Dengan malas, aku menggerakan tanganku menyentuh ponsel yang terletak di samping bantal bersarung putih motif bunga sakura merah.
From     : Hagane231@hotmail.com
To           : Akinari-inthedark@hotmail.co.jp
Subject : Oyasumi!
                Mataku memincing, takut salah membaca. Setelah berulang kali kubaca e-mail tersebut, senyumku mengembang. Terbangun dan duduk sambil mengetikan balasan ‘Oyasumi’ pada orang itu. Dia dan orang itu. Mereka sama.
                Kembali memejam mata sambil sesekali senyum yang tak bisa kucegah terus terukir di bibirku. Semoga malam ini aku bisa mimpi indah.
.
.
.
                “Aki-chan, ayo kita karaoke!” oh Kami-sama, suara Sanae mengagetkanku yang tengah berusaha mengumpulkan sisa-sisa nyawa setelah pelajaran Bahasa Inggris tadi, jam terakhir yang membosankan, mengantukan dan pelajaran yang paling kubenci.
                Menguap pelan, aku berbalik menatap gadis yang sebaya dengan diriku itu. Sanae tersenyum menyipitkan matanya yang memang tampak sipit membuatnya menyembunyikan bola mata cokelat jernihnya yang kuakui cukup indah.
                “Bagaimana ya? Aku malas, sih. Hehe...”
                “Yah, kamu bagaimana si Aki. Semalam kau sudah mengiyakan, kan?”
                Ia merengut kecewa, lalu aku tersenyum mengejek. “Bukankah aku tidak janji?”
                “Tapi kan, kau sudah memberiku harapan tadi malam.”
DEG
                Harapan? Aku benci kata itu, lebih tepatnya aku membenci orang yang berusaha memberikan harapan kepada orang lainl. Ngomong-ngomong, melanjutkan pembicaraan ku tadi berarti aku membenci diriku dong?
                “Bercanda, kok. Hehe...” tawaku menyusul.
                Tas selempeng yang tergantung di pinggir meja kuraih dan menentengnya dengan sebelah tangan. “Nanti sekalian aku mau lihat-lihat toko gelang yang baru buka hari ini, ok Sa-chan?”
                Sanae tampak senang, senyumnya kembali mengembang. Sahabatku yang satu ini memang manja. Permintaannya harus dituruti setiap saat. Aku memakluminya. Dia putri wali kota sih, satu-satunya pula.
                “Yatta! Ok, Aki. Nanti kutraktir yakisoba, hehe.” Sanae menggandeng tanganku, senyum lembut tergambar di wajahku. Kalau seperti ini, dia seperti adik ku saja.
                “Hai, hai, hai~”
.
.
.
                “Huwaaa~ tadi seru sekali, Aki. Aku tak menyangka kau akan menyanyi sebagus tadi. Nee, bagaimana kalau kau jadi idol saja? Kupikir kau pasti bisa. Suaramu lumayan bagus juga, kau juga manis,” puji Sanae saat kami baru keluar tempat karaoke yang tadi kami kunjungi. Sedikit tersipu, aku kembali teringat sesuatu.
Flash Back
                “Idol?”
                “Ya. Kita akan membuat band, aku jadi drummernya. Lalu, Aki jadi vacalis dan bassis, Ekita jadi vocalis dan gitaris dan yang terakhir Shouta jadi gitaris leadernya? Bagaimana, apa Aki mau?”
                “Y-ya, mungkin boleh juga, Hagane-senpai. Hehe...”
                “Akinari tahu, cita-citaku ingin jadi idol loh. Aku harap, Aki mau bersama-sama membantuku mencapai harapan dan cita-citaku.”
                “Tentu, harapan Hagane-senpai juga harapanku juga kan?”
                Andai saat itu semuanya berjalan lancar, pasti aku tidak akan mengetahui kebusukan dan keburukan dari harapan ataupun cita-cita. Kau tahu, mimpi itu semu.
                “...Ki... Aki... Akinari Shiroi?”
                “E..Eh... Iya?” keget. Dasar, aku melamunkan hal tidak penting seperti itu.
                “Kamu kenapa, sih? Apa kau sakit?” tanya Sanae tampak khawatir kepadaku. Akupun menggeleng dan kembali tersenyum
                “Tidak, aku baik-baik saja. Oh, ya katanya kau mau mentraktirku yakisoba?” seruku berusaha mengalihkan perhatiannya. Setahuku, Sanae memang gampang dialihkan perhatiannya. Walau kami baru mengenal satu sama lain sejak semester kemarin, tepatnya sekitar tiga bulan yang lalu.
                “Benar juga. Ok, ayo Aki! Habis itu kita ke toko gelang yang baru buka itu.”
                “Hm.”
.
.
.
                Sambil menunggu pesanan kami, aku mengutak-atik ponselku. Tadi pagi, Ayah memberikanku smartphone yang baru diproduksi di perusahaan Ayah. Ayah bekerja sebagai menejer di Aizawa Financial Corp.
                “Ponselmu baru ya, Aki?” tanya gadis bersurai cokelat panjang yang dikuncir kuda tersebut.
                “Hm, Otou-san memberiku tadi pagi. Katanya baru akan dipasarkan di seluruh Jepang hari ini,” jawabku santai.
                “Waaah~ benarkah? Ini lebih manis dari pada ponselku,” puji Sanae sekali lagi.
                “Haha...” tawaku entah untuk apa. Mungkin, untuk menanggapi pujiannya.
                Seorang pelayan membawa sebuah nampan yang lumayan besar menuju meja kami. Senyum ramahnya memang tak pernah luntur, membuat pelanggan merasa dihormati di sini.
                “Omataseshimashita~”
                Wanita berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu menaruh pesanan kami di meja dengan hati-hati. Ia tidak ingin mengecewakan pelanggan, anggapku.
                “Arigatou~” seru Sanae dan aku hanya menyunggingkan senyuman terimakasih.
                Sambil menikmati yakisoba, Sanae berceloteh panjang lebar tentang banyak hal. Dan kau tahu, dia memang berceloteh mengenai banyak hal, namun yang ia celotehkan hanya pria-pria yang menurutnya tampan yang dilihatnya di beberapa kesempatan. Aku hanya menanggapi ceritanya dengan bertanya balik seperti, “apa kau berkenalan dengannya?” atau, “apa yang kau suka darinya?” Yeah seperti itu kira-kiranya, tak mencoba untuk turut berbagi cerita mengenai laki-laki yang membuatku menarik. Kecuali saat dia tiba-tiba bertanya, “oh ya, ngomong-ngomong bagaimana hubunganmu dengan Kou Hagane-senpai?”
DEG
                Baru saja aku berusaha melupakannya, setidaknya aku sudah berusaha, walau aku sungguh masih terpikat oleh orang itu.
                “Kami putus,” lalu kulihat Sanae memudarkan senyum jahilnya saat aku mengucapkan itu.
                Mata cokelatnya mengerjap beberapa kali, juga bibirnya yang sedari tadi membuka lalu mengatup lagi layaknya orang yang hendak berbicara namun tiba-tiba terserang gagap.
                “Tu-tunggu!” ia masih berpikir, mengumpulkan nyawanya mungkin dari kekagetannya tadi.
                “Kau tidak perlu berlebihan begitu, Sanae-chan! Haha, kau lucu sekali seperti orang bodoh. Haha...” tawaku berusaha mengembalikan suasana yang sempat tegang.
                “K-kau tidak apa-apa?” ia memastikan.
                “Apa kau lihat sesuatu yang aneh pada kelopak mataku?” ia menggeleng. Mata panda untungnya tidak tinggal di kelopak mataku dalam waktu yang lama. Terimakasih untukMu, Kami-sama.
                “M-maksudku, kenapa kau tidak bercerita padaku? Aku kan sahabatmu,” Sanae kembali cemberut.
                “Kupikir, aku tidak ingin mengumumkan kabar yang menurutku lumayan menyebalkan untuk sahabatku. Karena, aku tahu Sanae-chan tidak suka berita menyebalkan. Haha...” berusaha untuk tenang dengan mengeluarkan candaan.
                “Tapi kan. Uughh...”
                “Hai, hai. Aku minta maaf, Sanae-chan,” aku mengalah akhirnya, karena cukup merepotkan mendapati Sanae Kinoshita bila tengah merajuk atau ngambek.
                “Baiklah, akan kumaafkan. Tapi, kapan kalian...”
                Terlihat ragu dia melanjutkan pertanyaannya, akupun menghela napas pelan, “putus?” ia mengangguk, “hari Sabtu tiga hari yang lalu. Ternyata dia hanya menganggapku sebagai adik. Tapi, tenang saja kami tidak bertengkar kok. Dia tetap mengirimiku e-mail setiap malam,” lanjutku. Sanae tampak sedikit tersentak.
                “Adik? Dasar si Hagane bodoh itu! Kalau ketemu nanti, aku akan memukulnya untukmu, Aki. Kau tenang saja.”
                “Terimakasih, tapi kau tidak perlu melakukannya Sanae-chan. Kami sepakat untuk berteman seperti biasa,” aku sungguh bersyukur pada Kami-sama, karena diberikan sahabat seperti Sanae. Dia sahabat yang selalu ada untukku.
                “Benarkah?” aku mengangguk.
                “Apa kau sudah selesai makan?” tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan menyebalkan ini.
                Ia mengangguk tersenyum, lagi. “Jaa, ayo kita ke toko gelang di seberang sana!”
                “Ikkuze~”
.
.
.
                Sudah lima menit kami berada di toko gelang ini. Jika dilihat dari koleksinya, toko ini lumayan bagus. Desain gelangnya unik disertai harga yang lumayan mahal. Yeah, sepertinya pepatah orang mengenai harga membawa rupa memang benar.
                Untung Otou-san berbaik hati memberiku uang jajan lebih untuk bulan ini. Terimakasihku untuk Otou-san tercinta.
                Sebuah gelang berbahan perak yang terpajang di etalase terbuka. Desainnya cantik, ada ornamen-ornamen bunga sakura yang terpasang di sana. Akupun hendak mengambilnya, mencoba mencocokan dengan tanganku.
GREP
                Sebuah tangan lentik menghentikanku mengambil gelang unik tersebut. Mata hitamku membulat kaget, kupikir Sanae sedang ada di stan gelang tali di sebelah kiri. Akhirnya memutuskan untuk menengokan kepala ke sebelah kananku.
                Gadis cantik berseragam sailor putih hitam. Rambutnya berwarna hitam panjang sedikit bergelombang di bawah, mungkin akibat catokan. “Gomen, aku mengambilnya duluan,” gadis beriris keabuan itu tersenyum seperti sedang mengejekku. Tch, kutarik pikiranku mengatainya manis. Ia menyebalkan, terutama senyum manjanya.
                “Hm, silahkan,” kini aku membalikan seluruh tubuhku menghadapnya. Namun, gadis menyebalkan tersebut malah mengerutkan keningnya, seperti sedang berpikir.
                “Akinari Shiroi?”
                Tu-tunggu! Ada yang tidak beres. Kenapa dia tahu namaku? Apakah aku seterkenal itu sehingga sampai orang dari sekolah lain mengenaliku? Sepertinya itu tidak mungkin.
                “Hn, siapa?” tanyaku balik, aku tak mau terlalu percaya diri dengan hipotesisku.
                “Ini Saaya Takahashi. Kita satu SD dulu, kau ingat? Aku yang sering kau bantu saat mengerjakan PR.”
                Saaya, Saaya, Saaya Takahashi.
                Bingo! Dia teman masa kecilku sebelum aku pindah ke Tokyo.
                “Saaya-san?” aku memanggilnya, iapun mengangguk berangsur memelukku. Aku memeluknya balik.
                “Kau sekolah di Tokyo?” tanyaku kemudian.
                Saaya menggeleng, “aku sekolah di Osaka. Aku ke sini untuk bertemu pacarku, dia sekolah di Kawagami Gakuen.”
                Kawagami Gakuen? Demi Kami-sama, aku sangat mengenal sekolah itu. “Ohh, lalu di mana pacarmu? Kenalkan padaku, dong!” seruku penasaran.
                “Tentu, sebentar ya?” ia berbalik dan beranjak dari etalase gelang berbahan perak ini.
                Sembari menunggu teman masa kecilku yang aku akui sekarang terlihat sangat berbeda itu, aku kembali melihat-lihat isi etalase dengan tinggi sekitar dua meter berak empat dan terbuat dari kaca tebal.
                Sudahlah, aku relakan saja gelang sakura itu. lagipula, pasti masih banyak gelang unik di toko cabang dari Hokkaido ini.
                “Akinari-san,” seseorang memanggilku. Ah suara Saaya. Berbalik. Seketika aku terkejut, tertegun, dan mematung.
                What the hell! Baru saja sekitar satu setengah jam yang lalu aku berterimakasih pada Kami-sama, aku mengumpat untuk saat ini. Kami-sama seperti tengah mempermainkan hidupku belakangan dan hari ini.
                “Aki-chan!” yabai! Kau datang di saat yang tidak tepat, Sanae.
                Sanae berhenti berlagak ceria ketika gadis kawaii itu sampai di sebelahku, menenteng beberapa gelang yang kuyakini pilihannya. “Ha-Hagane senpai?”
                Akhirnya aku menghela napas, menetralisir kegugupan yang tiba-tiba menyerang tubuhku. Ada Sanae dan banyak orang di tempat ini.
                “Konnichiwa, Hagane-senpai!” salamku mencoba tersenyum biasa, senyuman normalku padanya. Tapi, aku yakin bahwa dia tahu bahwa aku memaksa tersenyum untuknya.
                Kou Hagane juga terlihat terkejut, terlebih melihat perilaku diriku yang sepertinya terlihat biasa-biasa saja.
                “Konnichiwa, Shiroi-san dan Kinoshita-san,” balasnya dengan nama panggilan barunya untukku. Aku sedikit kecewa. Oh, ia menyapa Sanae juga.
                “Eh, kalian sudah saling kenal?”
                Aura tegang masih melingkupi kami berdua, lebih tepatnya Akinari Shiroi dan Kou Hagane. Namun, suara cempreng Sanae kembali mengagetkanku.
                “Hagane, kau brengsek!” Sanae mengumpat pada Hagane.
                “S-Sanae, kau bicara apa? Maaf ya, senpai, Saaya-san, Sanae-chan sedang datang bulan, haha,” bualku.
                “Tidak! Berhenti bersikap biasa-biasa saja, Aki! Aku tahu, hatimu sakit dan itu pasti gara-gara si brengsek ini?” umpat Sanae lagi.
                “Sanae, kau kenapa sih?” aku sedikit membentaknya, sungguh kali ini aku kelepasan. Maafkan aku Sanae.
                “A-Aki, kau membentakku?”
                Tidak, tidak dan tidak. Sanae salah paham. Saat aku hendak menjelaskan padanya, Sanae malah berlari menuju meja kasir yang cukup jauh dari keberadaan kami. Dan aku berusaha mengejarnya, namun kakiku seperti terkena lem super lengket di sini.
                “Sanae-chan!” panggilku memecah keramaian di toko baru ini. Sia-sia, Sanae tetap berlari meninggalkanku.
                “Ano, apa hubungannya kalian dengan Kou pacarku?” Saaya bertanya.
                “Kami...” jawabanku terpotong Kou, “kami seperti kakak dan adik. Dulu, kami teman satu band sih. Bukan begitu Shiroi-san?”
DEG
                Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sadarlah, Akinari! Pria di depanmu itu memang brengsek. Dia mempermainkanmu, Akinari.
                “Hah? I-iya. Selamat ya, atas jadian kalian. Aku turut senang, semoga langgeng,” doaku berdusta. Rasanya seperti, ah aku tidak bisa mendefinisikannya.
                “Arigatou, tapi sebenarnya kami sudah jadian sekitar satu bulan yang lalu loh. Hehe...”
DEG
                Satu bulan, Akinari. Dan kau baru putus dengannya tiga hari yang lalu. Hatiku berguncang, miris rasanya meratapi nasibku yang jarang beruntung ini.
                Aku menunduk, tanganku meremas erat tali tas selempeng yang ku cangklong lengan kiri. Gawat! Sesuatu yang panas hendak keluar dari mataku. Sialan!
                Tarik napas, hembuskan. Tarik napas panjang dan hembuskan lagi. Ok, cara ini lumayan efektif untuk menetralisir air mata yang memberontak ingin keluar dari kelopak mata.
                “Wah, benarkah? Kenapa senpai tidak cerita denganku? Ku kira kita ini ka-kak-dan-a-dik?” tanyaku sambil tersenyum dan menekankan kata kakak dan adik pada Hagane sialan itu.
                Mataku yang menyipit karena senyum palsu tadi, melihat Hagane yang memasang raut tegang. Kau bodoh, Hagane! Tapi, kau lebih bodoh lagi Akinari!
                “Ah, hahaha gomen,” tawanya canggung.
                “Oh ya, aku harus mengejar Sanae dulu ya? Kalian, selamat bersenang-senang. Bye!” akupun beranjak dari sana, tak bisa menahan luapan air mata ini.
                Setengah berlari, aku melewati meja kasir dan hendak sampai di depan pintu masuk. Namun, kasir toko itu memanggilku, “Okyaku-sama!” dan aku menoleh.
                “Ini tadi ada pelanggan yang menitipkan gelang ini untuk anda,” ucapnya dan menjulurkan tangannya menyerahkan sebuah gelang berbahan perak. Bentuknya seperti rantai kecil dan rantai-rantainya berbentuk bintang yang saling sinambung. Indah sekali.
                “Siapa yang memberikan?” tanyaku penasaran. Jangan-jangan, Sanae.
                “Seorang pelanggan laki-laki,” jawab kasir yang seumuran denganku itu. Sepertinya laki-laki di depanku ini bekerja paruh waktu.
                “Ciri-cirinya?”
                “Maaf, tapi dia tidak mau disebutkan.”
                Aku sedikit kecewa mendengar penuturannya. Dengan terpaksa, aku mengambil gelang cantik itu dari pelayan. “Ano, apabila anda bertemu dengannya lagi tolong berikan ini padanya! Aku ingin berterimakasih dan mengganti uang gelang ini,” ucapku sambil menuliskan nomor ponsel dan e-mailku pada kertas notes kecil.
                “Hai.”
                “Arigatou gozaimasu,” berbalik dan keluar dari toko yang hari ini membuat sport jantung saja.
                “Hai, Arigatou gozaimashita~”
.
.
.
                Berkali-kali aku menghubungi Sanae tetap tidak diangkat-angkat. Kali ini sudah ke dua belas kalinya semenjak dua puluh menit yang lalu. Namun, Sanae tak kunjung mengangkat panggilanku.
                “Maaf, Sanae,” gumamku pelan. Menyesali kenaifan diriku tadi sore. Apabila aku bisa jujur di depannya dan tidak berpura-pura kuat ataupun tegar, pasti Sanae tidak akan marah seperti ini.
                Karena tak kunjung diangkat, akhirnya aku menuliskan sebuah e-mail untuk Sanae.
To           : Sasanae-chan@hotmail.co.jp
Subject : Minta Maaf
Konbanwa, Sanae. Aku Cuma ingin meminta maaf padamu atas kenaifanku tadi. Sungguh, aku sangat menyesal berpura-pura kuat dan tegar. Tapi sungguh, aku tidak bermaksud membentakmu tadi. Sekali lagi, aku mohon maaf. -//\\-
                Menghela napas panjang, aku merebahkan badanku di atas tempat tidur, memandang langit-langit kamar sembari menggumamkan sebuah lagu yang membuatku terkenang akan orang itu.
Nee, konna niwaraeta koto
Umarete hajimete da yo
Kitto watashi wa ne
Konno hi no teme ni machigai darake no
Michi wo aruite kitanda
Zutto hitori de
Flash Back
                “Mau nggak Akinari jadi pacarku?” suara beratnya memecah suasana ceria yang terselubung di antara kami berdua. Aku dengan Kou Hagane, orang yang kusukai, berada di sebuah kedai es krim, tempat favorit kami.
                Aku yang sedang tidak berkonsentrasi untuk mendengarkan akhirnya bertanya lagi, “ada apa, senpai? Maaf, tadi aku habis mencari lirik lagu yang kusukai, jadi tidak terlalu mendengarkan. Hehe...” tawaku canggung.
                “Ah dasar, kau ini,” ia mengacak-acak rambut panjangku yang berwarna cokelat kemerahan.
                “Aww, jangan mengacak rambutku senpai! Aku menatanya susah,” rajukku padanya. Namun, ia malah tertawa dan mencubit pipi kiriku.
                Mengelus pipiku yang sedikit memerah akibat jembelannya, mulutku mengerucut sebal. “Aki tahu? Aku cuma mengacak rambut pada gadis yang kusukai.”
                Aku mematung mendengarkannya. Kali ini aku berusaha mempertajam pendengaranku agar aku tak salah dengar. Takut-takut nanti aku kePDan lagi.
                “Aku juga cuma mencubit pipi gadis yang kusayang,” ia tersenyum lebar.
                “Eh, ap apa?” tanyaku tidak percaya. Setahuku, Hagane-senpai gemar sekali bercanda.
                “Aki mau tidak jadi pacarku?” dia menatapku serius dengan tatapan yang lembut.
                Posisi kami yang saling berhadap-hadapan ini membuat jantungku makin berdegup kencang. Melihat keseriusan matanya dan aku melihat sebuah ketulusan di sana. Aku ingin sekali menjawab ‘Ya, dengan senang hati’ tapi seakan bisu, aku cuma bisa mengangguk dan menunduk menyembunyikan wajahku yang seratus persen kuyakini sudah seperti tomat matang. Huwaa~ aku malu sekali.
                “Hahaha... Kau lucu sekali Aki kalau tersipu seperti itu. haha...” what the??? Hagane tertawa seperti itu, jangan-jangan dia cuma bercanda lagi. Agh sial kau kena perangkapnya, Aki. Tch!
                “Senpai bercanda?”
                “Hah?”
                “Apa senpai bercanda?”
                Hagane menghentikan tawanya kali ini, melihat raut keseriusanku menatap bola mata keabuannya. Ah masa bodo! Aku tak peduli lagi akan malu. Yang penting perasaanku padanya yang sudah dipendam selama satu tahun lebih ini bisa tersampaikan. Yeah, aku tak berhak mengharapkan jawaban yang kuinginkan sih.
                “Aku...”
                Hagane tampak ragu. Haah... sudah jelas, ia hanya bercanda. Dasar laki-laki tampan, seenaknya saja si bikin gadis ingin menangis.
                “Aku mau pulang dulu. Aku ingat ada tugas buat beesok,” aku berdiri dari kursi. Sepertinya cairan panas hendak memaksa keluar dair mata.
                “Akinari?”
                Sebelum beranjak, aku tersenyum, “mou~ lain kali Hagane senpai jangan bercanda seperti itu, yah? Takutnya tidak akan ada gadis yang mau sama senpai loh.”
                Berbalik menuju ke meja kasir untuk membayar pesananku, lalu aku keluar sambil menunduk.
                Kami-sama, tolong jangan paksa air mataku turun sekarang! Aku belum sampai rumah.
                Doaku dalam hati, sembari mempercepat dan memperpanjang langkahku menuju stasiun. Sekarang baru sampai di jembatan yang sepi. Warna langit telah berubah kejinggaan, menandakan senja tiba. Merasa sudah tidak kuat menahan beratnya air mata, aku berhenti di jembatan. Menatap hampa sungai yang berkilau keemasan.
                Air mata tak segan-segan jatuh menetes. Dasar Akinari memang gadis lemah. Hanya gara-gara ditolak oleh seorang lelaki, masa si Akinari cengeng ini menangis? Payah.
Nee, konna niwaraeta koto
Umarete hajimete da yo
Kitto watashi wa ne
Konno hi no teme ni machigai darake no
Michi wo aruite kitanda
Zutto hitori de
                Seseorang pasti memergokiku tengah menangis. Mengejek dengan lagu cinta seperti itu lagi. Oh, poor Akinari. Bahkan, orang lainpun tahu kalau kau sedang patah hati, menangis di sisi jembatan seperti ini.
                “Gomen,”
                Sudahlah tidak perlu minta maaf. Aku memang gadis yang jarang beruntung. Tak apa, bernyanyilah mengejek seperti tadi.
                “Aki, aku tadi serius.”
                Sekarang, di dalam pikiranku suara Hagane bergema mengatakan bahwa ia tadi serius. Halusinasimu hebat, Aki.
                “Aki, aku mencintaimu,” namun entah kenapa halusinasiku kali ini seperti nyata! Hagane membalik tubuhku untuk menghadapnya lalu memelukku. Bahkan, hangatnya menjalar ke ubun-ubun. Wangi maskulinnya terasa di hidung. Tubuh tegapnya, dada bidangnya, semuanya seperti nyata.
                “Aki, tatap mataku!” aku menuruti halusinasiku.
                Mata keabuannya sangat jernih dan aku terhipnotis dengan halusinasiku sendiri.
                Hagane bayanganku ini, tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke wajahku. Lalu mencium bibirku lembut. Hanya ditempelkan, dan apabila aku membalas ciuman semu ini, aku pasti gila.
                “Aku mencintaimu. Dan aku tidak bercanda saat mencium seorang gadis seperti ini,” entah karena ciuman ke dua ini, atau perkataannya, atau keduanya, akhirnya aku menyadari kalau ini asli, bukan halusinasi semata.
                Hatiku memanas dan lega mendengar Hagane mengucapkan seperti itu. Sambil menikmati ciuman yang lembut ini, mataku terpejam. Dan, aku tidak akan pernah melupakan momen ini, serta lagu kenangan kami yang ia nyanyikan untukku.
End of Flash Back
                Otakku sepertinya benar-benar rusak. Memikirkan seseorang yang telah dimiliki orang lain. Dan hei! Untuk apa aku menangis saat ini? Sadarlah, Aki! Dia brengsek. Dia, gemar mempermainkan gadis. Apa jadinya bila Saaya-san tahu kalau aku ini sebenarnya mantan kekasihnya? Bukan hanya sekerdar adik dan kakak?
Drrt... Drrt... Drrt...
                Ah, ponselku! Pasti Saaya membalas. Pikirku dan segera bangkit mengambil smarphone yang ada di atas meja sebelah ranjang.
From     : Hagane231@hotmail.com
To           : Akinari-inthedark@hotmail.co.jp
Subject : Maaf
Akinari-san, maafkan aku. Tapi, tolong jangan beri tahu Saaya kalau kita ini mantan kekasih.
                Si brengsek Hagane yang mengirim e-mail. Emosiku semakin meluap melihat e-mail sialan darinya.
To           : Hagane231@hotmail.com
Subject: Maaf
Ya, tentu.
                Balasan singkatku tidak kuharapkan mendapat balasan lagi darinya. Tunggu! Aku mengatakan harapan? Haah, entahlah.
From     : Hagane231@hotmail.com
To           : Akinari-inthedark@hotmail.co.jp
Subject : Maaf
Apa kau marah?
                Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku marah, idiot!
To           : Hagane231@hotmail.com
Subject: Maaf
Tidak.

From     : Hagane231@hotmail.com
To           : Akinari-inthedark@hotmail.co.jp
Subject : Maaf
Apa kau masih mencintaiku?
                Jawabannya tentu saja ya.
To           : Hagane231@hotmail.com
Subject: Maaf
Tidak.

From     : Hagane231@hotmail.com
To           : Akinari-inthedark@hotmail.co.jp
Subject : Maaf
Syukurlah, aku jadi tidak ada beban sekarang. Terimakasih, ya Akinari-san. Sebenarnya aku masih menyayangimu.

                Kau pasti salah baca, Akinari. Dia bilang masih menyayangimu. Kalau begitu, kenapa kau pacaran dengan Saaya?
To           : Hagane231@hotmail.com
Subject: Maaf
Oh, ya?
From     : Hagane231@hotmail.com
To           : Akinari-inthedark@hotmail.co.jp
Subject : Maaf
Tentu. Sebagai adik.

                Aku tak berhak mengharapkan lebih darinya. Aku tak berharap mendapat kasih sayang sebagai pasangan kekasih darinya. Bahkan, aku berharap berhenti berbicara harapan sialan ini.
To           : Hagane231@hotmail.com
Subject: Maaf
Begitu.

                Lihat! Jawabanku padanya sangat berbanding terbalik bukan dengan hatiku? Terserah kau mau menganggap aku apa. Aku terima dan pasrah dengan diriku yang payah ini.
.
.
.
                “Sanae-chan, kita makan siang bersama yuk!” ajakku pada Sanae siang ini. Namun, Sanae hanya mendengus, lalu tak mengindahkanku. Ia berjalan melewatiku dan aku hanya bisa tersenyum miris kecewa.
                Sudah sejak tadi pagi Sanae tidak mau berbicara denganku. Ia terkesan seperti menghindariku terus. Aku tahu, ini semua salahku. Aku memang payah.
                Akhirnya dengan terpaksa, aku kembali duduk di bangku ku. Memakan bento yang telah disiapkan Okaasan pagi tadi, sendirian. Makanan yang biasanya enak ini, entah kenapa terasa hambar di mulut.
                “Shiroi-san!” panggil seorang teman laki-laki yang sekelas denganku dari arah belakang.
                “Nani?” jawabku acuh padanya. Aku tak perlu menengok untuk melihat siapa dalang yang membuyarkan lamunanku. Anak itu memang sering kali berbuat aneh terhadapku. Makannya, aku jadi malas meladeninya.
                “Nee, kau kenapa dengan Kinoshita-san? Biasanya kalian makan siang bersama?” pria tersebut, Shinichi Ogawa. Dia pria yang cukup ceria. Rambutnya blonde dan matanya biru seperti berlian. Sangat cantik.
                “Shiroi-san?”
                Pria tersebut memanggilku dan menyadarkan diriku dari lamunan tentangnya. Kemudian, aku menggeleng lemah. Menampik semua pikiran yang berkecamuk senang di otak. Ingat! Walau dia lumayan tampan dengan keturunan separuh Inggrisnya, si Shinichi Ogawa sangat menyebalkan. Dia sering kali mengganggu dan menjahiliku. Entahlah, tapi emosiku selalu terpancing saat di dekatnya.
                “Kenapa kau memandangi wajahku? Kau terpesona? Aku tahu, aku tampan. Hahaha...”
                Kuso, dia menggodaku dan anehnya pipiku memanas sekarang!
                “Kau terlalu percaya diri tahu. Mana mungkin aku terpesona dengan tampangmu yang seperti tampang teroris itu?” aku munafik dan sedikit tsundere padanya. Gengsi, lah mengakui tadi aku sungguh benar-benar terpesona dengan ketampanannya.
                “Lalu, kenapa kau memandangiku?” ia memasang tampang innocent andalannya yang membuatku ingin mengeluarkan darah di hidung. Kuso! Aku tergoda.
                Memutar otak, akhirnya aku menemukan sebuah jawaban yang masuk akal. “Aku cuma ingin tahu, bagaimana laki-laki sepertimu punya bulu mata yang lentik? Apa kau selalu mengambil maskara Ibumu? Hahahaha...” Aku mengejeknya puas.
                “Enak saja! Dasar gadis dada rata pendek!”
                “Apaa? Dasar banci bulu mata lentik!”
                “Jelek!”
                “Kau buruk rupa!”
                “Gadis aneh!”
                “Pria abnormal!”
                “Autis!”
                “Idiot!”
                “Mata cokelat jelek!”
                “Mata biru norak!”
                “Bibir sexy menggoda!”
                “Bibirmu lebih sexy!”
                “Dasar cantik!”
                “Dasar tampan!”
                Tidak beres! Aku bicara apa barusan? Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali.
                “Ehh? Kau menyebutku cantik loh?”
                “Kau mengakui kalau aku tampan. Haahahaha!”
                Entah ekspresi apa yang harus ku keluarkan untuk menghadapi tawa setannya. Sebenarnya bukannya di sini posisiku, aku juga bisa terawa seperti itu? Dia mengataiku cantik loh? Tapi, kok aku yang malu ya? Agh dasar Shinichi Ogawa bodoh!
                Shinichi masih tertawa keras. Lalu, aku mendengus kesal olehnya.
                “Hahahahaha... Shiroi-san... Hahahahahha...”
                “Terserahlah,” hei! Aku muak mendengar tawa setannya tau. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengalah dan kembali memakan bento enak yang terasa hambar ini.
                Ketika hendak memasukan sebuah sosis berbentuk gurita ke mulutku dengan sumpit, tiba-tiba saja Shinichi Ogawa menyebalkan di depanku, dia sudah berhenti tertawa, menghentikan laju sumpit berwarna merah jambu ini.
                Chotto, Shiroi-san!”
                Mengerenyitkan dahi, mataku memincing padanya. Aku tak jadi memakan sosis itu. huh!
                “Ada sesuatu di sosismu, coba kau arahkan sumpitmu ke sini! Mungkin aku salah lihat,” jelasnya menanggapi auraku yang sepertinya menghitam olehnya.
                Walau malas, akupun menuruti perkataannya. Aku menyodorkan sumpit berikut sosis ke arahnya. Namun, Ogawa menyebalkan itu malah“Hap!”melahap sosis di sumpitku dengan mudah.
                “Enak,” ia masih mengunyah. Aku masih terdiam.
                “Minta lagi dong, aku lapar. Hehe...” Ogawa mencomot sebuah sosis lagi di kotak bentoku.
                Karena sudah terlampau emosi, aku berteriak padanya, “OGAWAAA!!!!!” dan, seisi kelas menatapku, kami maksudku, dengan tatapan horor. Ini wajar, karena aku membuat kelas yang awalnya bising, tambah bising.
.
.
.
                Istirahat makan siang telah usai dengan waktu yang kuhabiskan untuk bertengkar dengan Ogawa sialan itu. haah... Sudah tahu dia sukanya bikin emosi, kenapa aku masih mau meladeninya si? Dasar aku bodoh!
                Tapi, kemudian tanpa sadar aku tersenyum, senyum lega yang selama ini kurindukan. Karena si Ogawa, aku jadi melupakan masalahku untuk sejenak. Aku malas mengakuinya, kalau dia berhasil menghiburku. Tch!
                Guru pelajaran Matematika masih sibuk menjelaskan materi yang tidak ku mengerti. Aku memang terkesan memperhatikannya, namun sebenarnya tak ada ilmu secuilpun yang bisa masuk ke dalam otak ku. Selain karena faktor guru yang memang terlalu cepat mengajarkan materi rumit itu, aku masih kepikiran tentang Sanae.
                Sanae masih ngambek padaku. Dan aku yakin ia sangat sangat serius untuk marah padaku. Sanae, aku benar-benar minta maaf.
PLUK
                Tubuhku terlonjak. Sesuatu berhasil terlempar di punggungku. Tch, aku tahu ini pasti kerjaan Ogawa.
                “Kenapa kau melempariku dengan kertas sampah?” omelku berbisik, takut ketahuan guru.
                “Entahlah. Sepertinya kertas itu ingin sekali kau sentuh,” jawabnya acuh.
                Mendengus kesal, akhirnya aku mengambil sebuah kertas yang kutahu sudah diremas-remas kuat membentuk sebuah bola. Kemudian membukanya.
Mentari dan Bulan
Mereka berbeda
Mereka memiliki fisik yang berbeda
Mentari besar
Dan Bulan kecil
Mentari bercahaya
Dan Bulan tampak buta oleh gelap
Namun, mereka selalu berdampingan
Memberikan cahaya untuk bumi
Siang hari Mentari
Malam hari Bulan
Tanpa Mentari, Bulan tak bersinar
Tak berguna bagi Bumi
Tanpa Bulan, Bumipun hancur
Ditelan gelapnya malam nan sunyi
Seperti sebuah persahabatan
Terkadang salah satunya tampak Matahari
Dan yang lain tampak Bulan
Dan persahabatan tampak seperti Bumi
                Aku terhenyak beberapa detik setelah membacanya. Ini lirik lagu! Dan apakah...
                “Ogawa-san, apa ini?” Ogawa yang menulisnya?
                “Hanya coretan untuk orang bodoh,” jawabnya cuek.
                “Ini untuk ku?” tanyaku lagi.
                “Memangnya orang bodoh yang tengah bertengkar dengan sahabat cerewetnya siapa lagi?” dan pernyataannya kembali mengejutkanku.
                “Ogawa-kun, Arigatou~” Ahh, aku tersenyum padanya.
                Entahlah, setelah aku tersenyum wajahnya tampak memerah. Apakah dia demam, setelah membuatkanku dan Sanae sebuah syair lagu? Oh Kami-sama, apa yang harus kulakukan?
                “Shiroi-san, Ogawa-san? Apa yang sedang kalian perbincangkan?”
DEG
                Gawat! Sensei pasti memergokiku. Dan, saat aku melihat wajah tampan Ogawa yang masih sedikit memerah, aku menyeringai. Yatta, aku punya alasan bagus.
                “Ano, Sensei! Ogawa-san sepertinya demam. Wajahnya merah,” jawabku beralasan. Hei! Alasanku masuk akal kan?
                “Apa benar, Ogawa?” bagus, Sensei percaya. Dewi Fortuna ada di pihakku.
                Ogawa tampak bingung, namun akhirnya ia mengangguk. “Iya, Sensei. Bolehkah aku izin ke UKS? Sepertinya aku terkena demam musim panas. Hahaha...”
                Apa??? Demam musim panas? Ogawa, kau bercanda kan? Kau seperti bocah.
                “Begitu? Ya sudah, Shiroi-san tolong antar Ogawa ke UKS ya?” WTH? Sensei percaya?
                “Ah, hai~”
                Tak mempedulikan alasan konyol Ogawa, aku mengiyakan saja permintaan Sensei. Ada alasan bolos pelajaran, asik. Dan untuk ke sekian kalinya, aku mengucapkan terimakasih pada Ogawa bodoh.
.
.
.
                “Apa kau benar-benar terkena demam musim panas?” tanyaku ketika kami berjalan melewati koridor kelas tiga menuju ke UKS.
                “Bodoh, mana mungkin?” tentu saja, mukamu merah.
                “Mukamu merah loh tadi?” jawabku jujur.
                Dan ia terhenyak, mukanya kembali sedikit memerah. “Tidak kok, tidak. Aku hanya merasa panas saja di dalam kelas.”
                “Begitu,” aku menundukan kepala sambil terus berjalan mengikutinya.
                Sesampainya di UKS, kebetulan sekali penjaga UKS sedang tidak ada saat itu. Jadi, kami tidak perlu berbohong lagi untuk menutupi demam musim panas gadungannya si Ogawa.
                Pria di depanku duduk di sebuah ranjang pinggir ruang UKS. Aku mengikutinya. Namun, aku hanya berdiri di samping ranjang.
                “Shiroi-san!”
                “Kenapa?”
                “Duduk!”
                Sesuai perintahnya, aku duduk di kursi sebelah ranjang tidur yang tengah ia duduki.
                “Kau membawa sampah itu?”
                Sampah? Maksudnya syair lagu tadi?
                “Maksudmu ini?” menyodorkan kertas tadi padanya.
                “Kau mau menyanyikannya?” tanyanya lagi. “Aku tahu, kau bisa menyanyi. Walau suaramu cempreng dan pas-pasan. Tapi setidaknya kau bisa menyanyikan lagu itu,” ungkapnya kemudian. Tch, dia mengejekku.
                “Sebenarnya aku ingin menanggapi ejekanmu, namun aku ingat aku sedang banyak pikiran dan malas berdebat dengan setan sepertimu,” tanggapku akan ejekannya.
                Dia mendengus kesal lantaran aku mengatainya setan. “Aku tahu kalian sedang bertengkar. Memang ada masalah apa?”
                “Sanae?”
                “Hm,” dia memandangku, tatapannya tepat pada onyxku.
                Aku memalingkan wajahku, menghindari tatapan mengintimidasinya. Pasalnya, dia seperti memenjarakan onyx ku. “Bukan urusanmu,” ujarku enggan bercerita mengenai masalahku dengan Sanae.
                “Bukan waktunyu buat jadi gadis tsundere, Shiroi-san!”
DEG
                “Aku merasa terganggu dengan dirimu yang tiba-tiba saja sendiri seperti tadi. Aku tahu kau memang jarang akrab dengan gadis lain,” ungkap Ogawa tenang. Sejenak, ia menyembunyikan sifat menyebalkannya.
                “Dari mana kau tahu? Kita baru setengah tahun kenal?” sangkaku.
                “Aku jarang melihatmu akrab dengan orang lain selain dengan Kinoshita-san,” sapphire indah itu kembali menangkap onyx ini. Dia menatapnya lembut dan mengintimidasi seperti tadi. Namun, kali ini tak setajam dan menusuk seperti sebelumnya.
                “Ini semua gara-gara pria bodoh,” astaga aku mengumpat.
                Ogawa menaikan sebelah alisnya bingung. “Jangan bilang kalau kalian berebut pria? Dan, hei! Bukannya kau sudah punya pacar?”
JLEB
                Menggeleng lemah dan menunduk, tangan meremas rok seragam sekolah ini. “Bukan karena berebut pria, bodoh!”
                “Lalu?” Ogawa tidak marah, kukatai bodoh?
                “Aku juga sudah putus dengannya lima hari yang lalu.”
                “Heeh? Kenapa?” dia terlonjak kaget. Sebenarnya aku adalah tipe orang yang tertutup dan sulit terbuka dengan orang lain. Tapi, entah kenapa hanya kepada Ogawa ini lah aku bisa mengekspresikan semuanya. Marah, benci, senang dan sedih. Semuanya alami dan tak terkesan kubuat-buat.
                “Dia memutuskanku entah karena apa, sebelumnya aku memang hanya tahu dia hanya menganggapku adiknya saja. Tapi, ternyata dia punya gadis lain yang baru kutahu kemarin adalah teman masa kecilku. Mereka sudah jadian selama sebulan. Ketika aku dan Sanae ada di toko gelang, kami bertemu dengannya dan pacar barunya. Gara-gara aku yang terlalu munafik dan terlalu memaksakan perasaanku yang terkesan biasa-biasa dan sudah melupakan masalah dengan mantanku, Sanae marah. Aku bahkan tega membentaknya. Hahaha... Kau boleh tertawa Ogawa,” aku tertawa hambar. Wajahku kudongakan menatap langit-langit ruang UKS, menahan cairan bening yang menyeruak dari kelopak mata.
                “Hahahahaha...” tawa Ogawa menggema di ruang UKS. Aku tahu, tawanya bukan tawa mengejek seperti biasa.
                “Hahahahaha...” aku masih ikut tertawa. Bahkan, lantaran tawaku ini air mata menjadi jatuh dengan bebas dan deras. Aneh.
                “Hahahahaha... Kalau mau tertawa sampai menangis jangan seperti itu gayanya!” seru Ogawa yang masih tertawa hambar. Tawa yang sama seperti ku.
                Dan, ketika aku tertawa sambil mengeluarkan air mata kepedihan menghadapnya, seketika itu pula mataku membulat. Merasakan rengkuhan hangat melingkupi tubuhku.
                “Hahaha... Kalau begini, baru kau terlihat keren bila menangis,” sembari memelukku erat ia berucap.
                Tanpa komando, kedua tanganku melingkari punggungnya yang tegap. Seketika itu pula, seluruh beban dan kesedihan menyeruak keluar menjadi air mata. Aku menangis amat deras, sampai aku tak sadar bahwa blazernya pasti basah. Yang kuingin saat ini hanyalah mengeluarkan semua emosiku yang kupendam selama hari-hari terakhir ini.
.
.
.
                “Hiks... Hiks... Hiks...”
                Bel pulang sekolah sudah berdentang sekitar dua menit yang lalu. Dan, mataku masih mengeluarkan air mata yang semakin lama semakin reda. Astaga, sepertinya satu jam kulalui hanya untuk menangis!
                Salah satu tangan besar yang tengah memelukku ini mengelus-elus punggungku yang masih bergetar, sesenggukan akibat menangis. Aku dapat merasakannya merambat ke atas kepalaku, sesekali mengelus lembut.
                “Makannya, jangan sok kuat!” makinya yang lebih terdengar seperti sebuah nasihat. Aku hanya mengangguk lemah sebagai jawabannya. Masih mengangguk dalam dada bidang hangat ini. Andai boleh meminta, aku ingin waktuku berhenti di sini. EH?
                Ia melepas pelukannya pada tubuhku ketika ia merasa dan memastikan bahwa aku sudah cukup tenang, walau masih sedikit sesenggukan.
                Mengusap kedua pipiku dengan kedua ibu jari besarnya. Ia menangkup wajah yang aku sangat yakin sedang dalam kondisi kacau balau.
                “Kau jelek sekali, jelek?”
                Ah, dia mengejekku lagi.
                “Tapi, kali ini aku rasa kau lebih cantik dari pada biasanya. Maksudku, setidaknya wajahmu yang sekarang tidak menyembunyikan apapun lebih baik. Yeah, walaupun masih jelek.”
                Dia masih terus mengejekku, namun entah kenapa ejekannya malah membuatku tersenyum dan tertawa lega. Bukan tawa miris seperi tadi.
                “Arigatou, Ogawa-san.”
                Dan, tubuhku terulur untuk kembali memeluknya sambil tersenyum penuh kelegaan. Sedangkan Ogawa, dia mengelus rambut cokelatku yang pasti saat ini sangat berantakan.
                “Aku tidak melakukan apapun, bodoh!”
                Aku mendongak menatap sapphire nya dalam-dalam. Sapphire indah milik Ogawa menarikku terlalu dalam. Hingga aku dengan refleks memejamkan mata dan memajukan wajahku untuk menciumnya.
                Ogawa menempelkan bibirnya ke bibirku. Ciuman singkat yang penuh perasaan. Sudah jarang sekali aku mendapatkannya.
                Ciuman yang hanya terhitung beberapa detik saja, namun sudah membuat perutku geli seperti ada yang menggelitiknya.
                Karena malu, aku menunduk. Dia juga hanya diam saja. Duh, Akinari kenapa kau menciumnya? Dasar bodoh!
                “Go-gomen,” pinta ku padanya yang terlihat memalingkan muka. Sekilas, wajahnya tampak sedikit semburat merah.
                “Bodoh!” Dan Ogawa tersenyum sambil mengusap kepalaku lembut. Kuanggap kau memaafkanku, Ogawa.
                Ogawa turun dari ranjang yang kududuki. “Ikut aku!” suruhnya.
                “Ke mana?”
                Tiba-tiba saja Ogawa berjalan menuju sampingku, kemudian dia menarik paksa tangan kiriku untuk mengikutinya. Hei! Kenapa aku hanya diam dan tidak melawan? Jelas-jelas dia menarik ku seperti ini? Kami ini musuh loh.
                Koridor tingkat dua masih sedikit ramai karena memang bel baru berbunyi kurang dari lima belas menit yang lalu.
                “Ambil tasmu!” aku menurutinya. Kenapa lagi-lagi aku menuruti perintahnya?
                “Ayo!”
                Ogawa menggandengku, maksudku menarik, berjalan menuju deretan ruang klub seni. Jika feeling ku benar, dia akan membawaku menuju ruang musik yang kutahu sedang tidak ada orang di dalam. Yeah, hari ini semua klub diliburkan karena akan ada rapat anggota OSIS dengan para ketua klub. Itu si yang kudengar dari ketua klub manga, klub ku.
                Dia, Ogawa, menutup pintu ruang musik. Mungkin takut akan ada yang mengganggu.
                “Kau bisa cepat menghafal kan?” tanyanya. Dia duduk di kursi piano ruang itu.
                “Kurasa,” mengangguk sedikit tak yangkin dengan jawaban dari pertanyaannya.
                “Dengar baik-baik dan kau harus menghafal nadanya!”
                Tanpa mendengar jawabanku, Ogawa mulai memainkan piano itu dengan pelan dan lembut. Nadanya mengalir di setiap telingaku bebas, teratur dan mengena di hati. Nada yang sangat indah, kupikir.
                Memejamkan mata, mencoba merasakan alunan nada yang lembut dan merasuk ke dalam hati. Ini sungguh menenangkan. Dan seketika, otakku menyerap tentang ingatan nada yang dimainkan Ogawa.
                Di akhir lagu dia memelankan temponya. Dan beberapa detik kemudian, akhirnya lagu itupun selesai diiringi mataku yang kembali terbuka.
                “Kau sudah hafal, Shiroi-san?” tanyanya.
                Aku menggaruk pipi yang kalian pasti tahu, memang tidak gatal, namun secepatnya aku menangguk. “Ya, mungkin. Apa itu lagu karanganmu?”
                “Menurutmu?” ah, dia malah bertanya  balik. Sudahlah, aku yakin itu lagu ciptaannya.
                “Oh ya, kapan kau menciptakannya?” kejengkelanku berubah karena rasa penasaran.
                “Barusan.”
                Hah? Barusan? Aku tahu, dia memang jenius, tapi bagaimana bisa?
                “Kau tidak sedang bercanda kan?” aku menatap matanya, mencari sebuah kebohongan di sana. Walau hasilnya NIHIL.
                “Itu tidak penting. Yang lebih penting sekarang, apa suara cemprengmu itu cocok dengan laguku ini?” Dasar, dia mengejek ku lagi.
                “Menyebalkan. Sini, aku mau lihat partiturnya!”
                “Sudah kubilang, itu lagu baru yang baru saja kukarang. Bagaimana aku sempat mencatat partiturnya? Makannya aku menyuruhmu untuk mengafalnya, bodoh!” Ogawa mengataiku bodoh sambil tertawa mengejek.
                “Uh, baiklah,” aku menarik nafas dan mulai menyanyikan nada yang kuingat dengan lirik “La la la” karena aku tak tahu lirik aslinya.
                “Bagaimana?” tanyaku ragu.
                “Sudah kuduga. Suaramu...”
                “Pasti bagus kan? Hm, Ogawa-san kau terlalu meremehkanku. Hahaha...” aku menyombong kan diri sambil tertawa menang.
                “Fals.”
                “Hahahaha...” aku masih tertawa, tapi, “HAAAHH? Fals katamu?”
                “Huh, kukira dulu suaramu tak separah ini.” Dulu? Kapan itu?
                “Kapan kau mendengarku bernyanyi?”
                “Saat kau tampil dengan band mu di acara lomba band tingkat kota.”
DEG
                Hah, Ogawa kau mengingatkanku dengan si berengsek itu lagi. “Huh, jika niatmu itu cuma mau mengejekku lebih baik aku pulang saja deh.” Ucapku dan mengambil tas sekolahku.
                “Jadi, kau sudah menyerah?” ucapnya menghentikanku menggeser piintu ruangan.
                “HAH? Apa maksudmu?”
                “Sampah tadi kau masih membawanya kan? Sekarang, coba kau nyanyikan lagu itu dengan lirik di sampah! Siapa tahu tidak terlalu fals. Aku tidak yakin sih.” Ugh! Dasar Ogawa. Rasanya ingin menjahit mulutnya dengan rantai.
                “Ok. Akan kubuktikan kalau suaraku itu tidak fals.”
                Huaa... Aku terbawa suasana. Akhirnya dengan lantang aku menyanyikan lagu milik Ogawa dengan syair  yang telah ia berikan, maksudku lemparkan kepadaku.
                “Hm? Bagaimana? Kau pasti menyesal sudah mengejekku tadi. Haha... Aku memang hebat.” Sombongku.
                “Bagus! Sekarang, kita ke rumah Kinoshita.”
                “Hah? Kenapa kau tidak menyangkalnya seperti tadi? Lalu, apa maksudmu itu? ke rumah Sanae? Mau apa? Kau tidak akan menyuruhku menyanyi di depan rumahnya kan? Jangan bodoh, Ogawa!”
                “Kenapa tebakanmu tepat? Ayo!”
                HAAHH? Dia benar-benar menyuruhku menyanyi di depan rumah Sanae? ORANG INI GILAAA!!!
.
.
.
.
END OF PART 1